KUMPULAN INFORMASI SAHDI
Rabu, 20 Februari 2013
Senin, 18 Februari 2013
psikologi motivasi
psikologi motivasi
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.Pengertian Motivasi dan Hubungannya dengan Istilah “Motif”, “Drive” dan “Need”
1. Definisi Motivasi
Mc Donald memberikan sebuah definisi tentang motivasi sebagai suatu perubahan tenaga di dalam diri atau pribadi seseorang yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi-reaksi dalam usaha mencapai tujuan.
A.Menurut Sartain dalam bukunya Psikologi Understanding of Human Behavior, motivasi adalah suatu pernyataan yang kompleks di dalam suatu organisme yang mengarahkan tingkah laku atau perbuatan ke suatu tujuan atau perangsang.
B.James O. Whittaker memberikan pengertian secara umum, motivasi adalah kondisi-kondisi atau keadaan yang mengaktifkan atau memberi dorongan kepada makhluk untuk bertingkah laku mencapai tujuan yang ditimbulkan oleh motivasi tersebut.
C. Hubungan Motivasi dengan Istilah “Motif”, “Drive” dan “Need” Motif atau motive adalah dorongan yang terarah kepada pemenuhan kebutuhan psikis atau ruhaniah. Kebutuhan atau need merupakan suatu keadaan dimana individu merasakan adanya kekurangan, atau ke-tidakada-an
sesuatu yang diperlukannya. Desakan atau drive diartikan sebagai dorongan yang diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah. Meskipun ada variasi makna, ketiga hal tersebut sangat bertalian erat dan sulit dipisahkan, dan semuanya termasuk suatu kondisi yang mendorong individu melakukan kegiatan, kondisi tersebut disebut motivasi. Dengan demikian motivasi merupakan suatu kondisi yang terbentuk dari berbagai tenaga pendorong yang berupa desakan (drive), motif dan kebutuhan (need). Sehingga untuk menyederhanakan ketiga macam tenaga pendorong tersebut akan disebut dengan satu istilah saja yang lebih bersifat umum yaitu motif. Motif-motif yang mendorong perilaku individu dapat dikategorikan atas motif dasar dan motif sosial. Motif dasar berkenaan dengan segala macam bentuk dorongan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Motif ini bersifat instink, dimiliki individu sejak kelahirannya atau diperoleh dalam proses perkembangannya tanpa harus dipelajari. Sedangkan motif sosial merupakan perkembangan dari motif dasar, berkembang karena belajar dari pengalaman, baik belajar dari pengalaman yang disadari maupun yang dilakukan tanpa rencana dan sadar. Motif ini berkembang melalui proses interaksi sosial, dan peranannya sangat besar dalam kehidupan sosial.
B. Macam-Macam Motivasi dan Implikasinya dalam Belajar
1. Macam-Macam Motivasi, Menurut sifatnya motivasi dibedakan atas tiga macam, yaitu:
a. Motivasi takut (fear motivation), individu melakukan sesuatu perbuatan karena takut.
b. Motivasi Insentif (incentive motivation), individu melakukan sesuatu perbuatan untuk mendapatkan insentif.
c. Motivasi sikap (attitude motivation), motivasi ini lebih bersifat instrinsik, muncul dari dalam diri individu, berbeda dengan kedua motivasi sebelumnya yang lebih bersifat ekstrinsik dan datang dari luar diri individu.
Motif yang mendorong perbuatan individu, dibedakan atas lima kategori yang membentuk suatu hierarki atau tangga motif dari yang terendah ke yang tertinggi, yaitu:
a. Motif Fisiologis, yaitu dorongan-dorongan untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah.
b. Motif Pengamanan, yaitu dorongan-dorongan untuk menjaga atau melindungi diri dari gangguan.
c. Motif ..Persaudaraan dan kasih sayang, yaitu motif untuk membina hubungan baik, kasih sayang, persaudaraan baik dengan jenis kelamin yang sama maupun beda.
d. Motif Harga Diri, yaitu motif untuk mendapatkan pengenalan, pengakuan, penghargaan dan penghormatan dari orang lain.
e. Motif Aktualisasi diri. Manusia memiliki potensi yang dibawa dari kelahirannya dan kodratnya sebagai manusia. Potensi dan kodrat ini perlu diaktualisasikan dalam berbagai bentuk sifat, kemampuan dan kecakapan nyata. Melalui berbagai bentuk belajar dan pengalaman, individu berusaha mengaktualkan semua potensi yang dimilikinya.
2. Implikasi Motivasi
dalam Belajar
Guna berperan untuk menetapkan kebutuhan dan motivasi murid- murid berdasarkan tingkah laku mereka yang tampak, masalah bagi guru ialah bagaimana menggunakan motives dan needs murid untuk mendorong mereka bekerja mencapai tujuan pendidikan. Dalam usaha mencapai tujuan itu, diharapkan ada perubahan tingkah laku. Karena itu, tugas guru ialah memotivasi murid untuk belajar demi tercapainya tujuan yang diharapkan, serta di dalam proses memperoleh tingkah laku yang diinginkan. Guru sering menggunakan incentives untuk memotivasi murid agar berusaha mencapai tujuan yang diinginkan. Incentives, apa pun wujudnya akan berguna hanya apabila incentives itu mewakili tujuan yang akan dicapai yang kiranya memenuhi kebutuhan psikologis murid-murid. Konsekuensinya, guru harus kreatif dan imajinatif dalam menggunakan incentives untuk memotivasi anak agar berusaha mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.
C. Hubungan Motivasi dengan Kebutuhan Manusia
Motif Fisiologis
Motif Aktualisasi Diri
Motif Harga Diri
Motif Persaudaraan
Motif Pengamanan
2. Implikasi Motivasi dalam Belajar Guna berperan untuk menetapkan kebutuhan dan motivasi murid- murid berdasarkan tingkah laku mereka yang tampak, masalah bagi guru ialah
bagaimana menggunakan motives dan needs murid untuk mendorong mereka bekerja mencapai tujuan pendidikan. Dalam usaha mencapai tujuan itu, diharapkan ada perubahan tingkah laku. Karena itu, tugas guru ialah memotivasi murid untuk belajar demi tercapainya tujuan yang diharapkan, serta di dalam proses memperoleh tingkah laku yang diinginkan. Guru sering menggunakan incentives untuk memotivasi murid agar berusaha mencapai tujuan yang diinginkan. Incentives, apa pun wujudnya akan berguna hanya apabila incentives itu mewakili tujuan yang akan dicapai yang kiranya memenuhi kebutuhan psikologis murid-murid. Konsekuensinya, guru harus kreatif dan imajinatif dalam menggunakan incentives untuk memotivasi anak agar berusaha mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.
C. Hubungan Motivasi dengan Kebutuhan Manusia Dalam setiap perbuatan manusia pasti mempunyai tujuan tertentu dan berdasarkan motif tertentu pula. Untuk mencapai tujuan yang diharapkan diperlukan sebuah motivasi. Motivasi inilah yang mengaktifkan atau memberi
dorongan kepada manusia untuk bertingkah laku mencapai tujuan yang dapat memberikan kepuasan apabila berhasil dicapai. Memang, sulit untuk mengetahui motivasi pada diri seseorang secara langsung. Namun motivasi pada diri seseorang dapat diinterpretasikan dari tingkah lakunya. Tingkah laku yang memenuhi kebutuhan, cenderung untuk diulangi
apabila kebutuhan itu ditumbuhkan. Tingkah laku yang mencapai ke arah tercapainya tujuan menjadi semakin kuat, yakni bilamana seseorang dimotivasi lagi dengan cara yang sama maka tingkah laku itu terjadi lagi
Dalam Kegiatan Belajar Mengajar, guru sering menghadapi tingkah laku- tingkah laku kelas yang tak dapat diterangkan dan sulit diatasi karena tingkah laku tersebut telah diperkuat untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Dalam situasi-situasi yang agaknya memberikan “reward” bagi seorang anak, kecenderungan tingkah laku dapat dipelajari. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan anak misalnya dengan memberi pujian atau penghargaan-penghargaan lainnya. Misalnya, anak yang selalu berbicara di kelas, sering mengganggu
ketenangan kelas barangkali berusaha memenuhi kebutuhan untuk mendapatkan perhatian. Bila tingkah lakunya menarik perhatian, maka kemarahan dan teguran dari guru sangat berpengaruh.
Jadi, motives adalah wujud khusus dari proses motivasi, sedangkan needs adalah keadaan yang menimbulkan motivasi. Needs merupakan potensialitas tetap yang dimotivasi dengan cara tertentu. Timbulnya kebutuhan dalam diri seseorang adalah menunjukkan bahwa orang itu termotivasi dengan cara tertentu.
D. Proses Motivasi dalam Belajar
Dalam psikologi belajar, proses berarti
cara-cara atau langkah-langkah yang
dengannya beberapa perubahan ditimbulkan hingga tercapainya hasil-hasil tertentu (Reber, 1988). Jadi, proses belajar
dapat diartikan sebagai tahapan perubahan
perilaku kognitif, afektif, dan sikomotorik
yang terjadi dalam diri siswa. Perubahan tersebut bersifat positif dalam arti
berorientasi ke arah yang lebih maju
daripada keadaan sebelumnya. Mengenai
tahap-tahap belajar terdapat beberapa pendapat.
a. Menurut Jerome S. Bruner, dalam proses belajar siswa menempuh tiga tahap:
1) tahap informasi (tahap penerimaan materi)
2) tahap transformasi (tahap pengubahan materi)
3) tahap evaluasi (tahap penilaian materi)
b. Menurut Arno F. Wittig (1981) dalam bukunya Psychology of Learning , setiap proses belajar selalu berlangsung dalam tiga tahapan yaitu:
1) acquisition (tahap perolehan/penerimaan informasi)
2) storage (tahap penyimpanan informasi)
3) retrieval (tahap mendapatkan kembali informasi)
c. Menurut Albert Bandura (1977), seorang behavioris moderat penemu teori social learning/ observational learning, setiap proses belajar terjadi dalam urutan
tahapan peristiwa yang meliputi:
1) tahap perhatian (attentional phase)
2) tahap penyimpanan dalam ingatan (retention phase)
3) tahap reproduksi (reproduction phase)
4) tahap motivasi (motivation phase)
E. Faktor-Faktor yang Mempermudah Timbulnya Motivasi Belajar
1. Readiness (Kesiapan) Kesiapan adalah keseluruhan kondisi seseorang yang membuatnya siap
untuk memberi respons/jawaban di dalam cara tertentu terhadap situasi tertentu. Kondisi mencakup tiga aspek:
a. Kondisi fisik, mental dan emosional
b. Kebutuhan-kebutuhan, motif dan tujuan
c. Keterampilan, pengetahuan dan pengertian yang lain yang telah dipelajari
Adapun prinsip-prinsip Readiness adalah:
- semua aspek perkembangan berinteraksi (saling mempengaruhi)
- kematangan jasmani dan rohani adalah perlu untuk memperoleh
manfaat dari pengalaman - pengalaman-pengalaman mempunyai pengaruh yang positif terhadap
kesiapan
- kesiapan dasar untuk kegiatan tertentu terbentuk dalam periode tertentu selama masa pembentukan dalam masa perkembangan.
Readiness mengandung beberapa aspek yaitu:
a. Kematangan, adalah proses yang menimbulkan perubahan tingkah laku sebagai akibat dari pertumbuhan dan perkembangan.
b. Kecerdasan, Menurut J. Piaget perkembangan kecerdasan meliputi:
1)Sensori motor period (0 – 2 tahun) Anak banyak bereaksi reflek, reflek tersebut belum terkoordinasikan.
2)Preoperational period (2 – 7 tahun) Anak mulai mempelajari nama-nama dari objek yang sama dengan apa yang dipelajari orang dewasa.
3)Concrete operation (7 – 11 tahun) Pikiran anak sudah mulai stabil dalam arti aktivitas batiniah dan skema pengamatan mulai diorganisasikan menjadi sistem pengerjaan yang logis.
4)Formal operation (lebih dari 11 tahun) Kecakapan anak tidak lagi terbatas pada objek-objek yang konkret. Anak mulai mempu memandang kemungkinan-kemungkinan yang ada
melalui pemikirannya, dapat mengorganisasikan situasi/masalah, serta dapat berpikir logis.
2. Transfer
Transfer adalah pengaruh hasil belajar yang telah diperoleh pada
waktu yang lalu terhadap proses dan
hasil belajar yang dilakukan kemudian. Apabila hasil belajar yang terdahulu itu memperlancar
proses belajar berikutnya maka transfer
tersebut disebut transfer positif. Namun jika mengganggu proses belajar berikutnya maka transfer tersebut disebut
transfer negatif.
Ada
beberapa teori mengenai transfer, yaitu:
1) Teori disiplin mental formal
2) Teori komponen-komponen identik
3) Teori generalisasi
4) Teori Gestalt
1) Teori disiplin mental formal
2) Teori komponen-komponen identik
3) Teori generalisasi
4) Teori Gestalt
Untuk
mempermudah transfer dibutuhkan kondisi yang kondusif, yaitu dengan adanya kemampuan asli pelajar; murid
mempelajari materi yang menarik baginya;
sikap positif dan usaha suka rela murid; cara mengajar yang menarik, bervariasi, tepat guna dan sesuai
dengan kemampuan murid.
Adapun prinsip-prinsip transfer adalah:
- menanamkan kesungguhan pada anggota yang belajar
- membuat materi belajar menjadi bermakna
- memungkinkan terjadinya konsekuensi yang memuaskan terhadap respon- respon yang benar
- menyediakan latihan/praktek
- menghindari organisasi yang salah dan gangguan
- menekankan konsep-konsep dan kemampuan-kemampuan umum
- memungkinkan terjadinya aplikasi
- memungkinkan peningkatan belajar dan tindak lanjutnya.
3. Incentive
Incentive adalah penghargaan yang diberikan atas keberhasilan siswa sehingga siswa terdorong untuk melakukan usaha lebih lanjut guna mencapai tujuan-tujuan pengajaran. Sehubungan dengan hal ini umpan balik merupakan hal yang sangat berguna untuk meningkatkan usaha siswa. Penghargaan ini misalnya berupa pujian, angka yang baik, memberi hadiah, dan lain-lain. Incentive dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
- Insentif Intrinsik, yaitu situasi yang mempunyai hubungan fungsional dengan tugas dan tujuan. Misalnya pengenalan tentang hasil/kemajuan belajar serta mengenai persaingan sehat.
- Insentif Ekstrinsik, yaitu situasi yang tidak mempunyai hubungan fungsional
dengan tugas. Misalnya ganjaran, hukuman, perlakuan kasar, kekejaman, dan ancaman yang membuat takut Dari kedua macam insentif tersebut, yang lebih memajukan belajar individu
adalah insentif intrinsik.
Adapun prinsip-prinsip transfer adalah:
- menanamkan kesungguhan pada anggota yang belajar
- membuat materi belajar menjadi bermakna
- memungkinkan terjadinya konsekuensi yang memuaskan terhadap respon- respon yang benar
- menyediakan latihan/praktek
- menghindari organisasi yang salah dan gangguan
- menekankan konsep-konsep dan kemampuan-kemampuan umum
- memungkinkan terjadinya aplikasi
- memungkinkan peningkatan belajar dan tindak lanjutnya.
3. Incentive
Incentive adalah penghargaan yang diberikan atas keberhasilan siswa sehingga siswa terdorong untuk melakukan usaha lebih lanjut guna mencapai tujuan-tujuan pengajaran. Sehubungan dengan hal ini umpan balik merupakan hal yang sangat berguna untuk meningkatkan usaha siswa. Penghargaan ini misalnya berupa pujian, angka yang baik, memberi hadiah, dan lain-lain. Incentive dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
- Insentif Intrinsik, yaitu situasi yang mempunyai hubungan fungsional dengan tugas dan tujuan. Misalnya pengenalan tentang hasil/kemajuan belajar serta mengenai persaingan sehat.
- Insentif Ekstrinsik, yaitu situasi yang tidak mempunyai hubungan fungsional
dengan tugas. Misalnya ganjaran, hukuman, perlakuan kasar, kekejaman, dan ancaman yang membuat takut Dari kedua macam insentif tersebut, yang lebih memajukan belajar individu
adalah insentif intrinsik.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Motivasi adalah kondisi-kondisi atau keadaan yang mengaktifkan atau memberi dorongan kepada makhluk untuk bertingkah laku mencapai tujuan yang ditimbulkan oleh motivasi tersebut. Motivasi merupakan suatu kondisi yang terbentuk dari berbagai tenaga pendorong yang berupa desakan (drive), motif dan kebutuhan (need). Menurut sifatnya motivasi dibedakan atas tiga macam, yaitu Motivasi takut (fear motivation), Motivasi Insentif (incentive otivation), dan Motivasi sikap (attitude motivation).
Sedangkan Motif yang mendorong perbuatan
individu, dibedakan atas lima kategori yaitu Motif Fisiologis, Motif
Pengamanan, Motif Persaudaraan dan kasih
sayang, Motif Harga Diri, dan Motif Aktualisasi diri. Guna berperan untuk
menetapkan kebutuhan dan motivasi murid-murid berdasarkan tingkah laku mereka
yang tampak, masalah bagi guru ialah bagaimana menggunakan motives dan needs murid untuk
mendorong mereka bekerja mencapai tujuan
pendidikan. Dalam usaha mencapai tujuan itu, diharapkan ada perubahan tingkah laku. Karena itu, tugas guru ialah
memotivasi murid untuk belajar demi
tercapainya tujuan yang diharapkan, serta di dalam proses memperoleh tingkah laku
yang diinginkan. Proses belajar dapat
diartikan sebagai tahapan perubahan perilaku kognitif,
afektif, dan psikomotorik yang terjadi dalam diri siswa. Perubahan tersebut
bersifat positif dalam arti berorientasi
ke arah yang lebih maju daripada keadaan sebelumnya. Mengenai tahap-tahap belajar terdapat beberapa
pendapat. Adapun faktor-faktor yang
mempermudah timbulnya motivasI belajar adalah
Readiness (kesiapan), Transfer, dan Incentive.
DAFT R PUSTAKA
·
Muhibbin Syah,
M. Ed., Psikologi Belajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.
109-112.
·
Prof. Dr. Nana
Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2005), hlm. 61
·
Drs. Wasty Soemanto, M. Pd., Psikologi
Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998), hlm. 203.
·
MAKALAH INI
SAYA BUAT DENAGN KAWAN SAYA NAMA: T.ADE VIDYAN MAQFIRAH TB
MAKALAH KERJASAMA IMPLIKATUR DALAM PRAGMATIK
MAKALAH KERJASAMA IMPLIKATUR DALAM PRAGMATIK
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Komunikasi adalah hal mendasar yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Hal tersebut muncul dan berkembang seiring dengan besarnya manfaat komunikasi yang didapatkan manusia. Manfaat tersebut berupa dukungan identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang di sekitar kita, baik itu lingkungan rumah, sekolah, kampus maupun lingkungan kerja (Mulyana, 2001: 4).
Selain itu, komunikasi digunakan untuk menciptakan dan memupuk hubungan dengan orang lain. Jadi, komunikasi dapat berkembang dengan bertukarnya informasi yang dimiliki oleh setiap manusia. Tindakan komunikasi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Ada yang dilakukan secara langsung seperti percakapan tatap muka dan yang dilakukan secara tidak langsung seperti komunikasi lewat medium atau alat perantara seperti surat kabar, majalah, radio, film, dan televisi. Media televisi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban kehidupan manusia, hampir dalam keseharian manusia selalu berhubungan dengan media komunikasi massa yang paling berpengaruh ini.
Ketika menginginkan informasi, manusia dapat menonton siaran berita di televisi, juga ketika orang ingin memperoleh hiburan, maka televisi selalu dapat menyajikan tayangan-tayangan hiburan yang menarik. Dengan menonton televisi maka akan banyak hal baru yang dapat diketahui manusia. Singkat kata, kini manusia hidupnya sudah sangat bergantung dengan media televisi. Siaran televisi telah memungkinkan masyarakat luas dapat dengan cepat dan mudah mengetahui berbagai perkembangan mutakhir yang terjadi di berbagai penjuru dunia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pragmatik
Istilah
pragmatik sebagaimana kita kenal saat ini diperkenalkan oleh seorang filosof
yang bernama Charless Morris tahun 1938. Ketika ia membicarakan bentuk umum
ilmu tanda (semiotic). Ia menjelaskan dalam (Levinson, 1983:1) bahwa
semiotik memiliki tiga bidang kajian, yaitu sintaksis (syintax),
semantik (semantics), dan pragmatik (pagmatics). Sintaksis merupakan
kajian lingustik yang mengkaji hubungan formal antar tanda. Semantik adalah
kajian linguistik tentang hubungan tanda dengan orang yang menginterpretasikan
tanda tersebut.
Sejak
itulah, pragmatik mengalami dua perkembangan makna yang berbeda. Di satu sisi
pragmatik dengan konsep sebagaimana yang dimaksudkan oleh Morris di atas tetap
dipertahankan. Di sini istilah pragmatik digunakan dalam berbagai judul buku
yang membahas masalah-masalah yang beragam seperti psikopatologi komunikasi dan
evolusi sistem simbol. Di sisi lain, istilah pragmatik mengalami penyempitan
makna. Dalam hal ini seorang Filosof sekaligus ahli logika yang bernama Carnap
mengatakan bahwa apabila di dalam suatu penelitian terdapat rujukan yang
konkret terhadap pembicara atau dalam istilah yang lebih umum, terhadap
pengguna bahasa, maka dia menetapkan bahwa penelitian tersebut berada dalam
bidang kajian pragmatik. Kemudian dalam perkembangan berikutnya, oleh Levinson
(1983) pengertian tersebut dianggap terlalu sempit dan ekslusif; dan oleh
karenanya pengertian tersebut dimodifikasi menjadi kajian bahasa yang
bereferensi atau berhubungan dengan faktor dan aspek-aspek kontekstual.
Pembahasan
pragmatik menurut Joko Nurkamto, pragmatik yang sekarang berkembang pada
umumnya mengacu pada pengertian yang kedua dari di atas. Dalam hal ini Levinson
(1983:21-24) menjelaskan kurang lebih tujuh pengertian pragmatik. Dan
diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama,
“Pragmatics is the study of the relation between language and context that
are basic to an account of language understanding”. Pengertian
inimenunjukkan bahwa untuk memahami makna bahasa orang seorang penutur dituntuk
untuk tidak saja mengetahui makna kata dan hubungan gramatikal antar kata
tersebut tetapi juga menarik kesimpilan yang akan menghubungkan apa yang
dikatakan dengan apa yang diasumsikan, atau apa yang telah dikatakan
sebelumnya.
Kedua, “Pragmatics is the study of the ability of language
users to pair sentences with the contexts in which they would be appropriate”. Pengertian kedua ini lebih
menekankan pada pentingnya kesesuaian antara kalimat-kalimat yang diujarkan
oleh pengguna bahasa dengan konteks tuturannya.
Ada
dua hal penting yang perlu di cermati dari pengertian pragmatik di atas, yaitu
penggunaan bahasa dan konteks tuturan. Penggunaan bahasa di sini menyangkut
fungsi bahasa (language functions). Untuk apa orang menggunakan bahasa?
Beberapa ahli menjelaskan fungsi bahasa tersebut. Di antaranya adalah Van Ek
dan Trim (1991), yang mengkategorikan fungsi bahasa menjadi 6 (enam) macam
yaitu: 1) menyampaikan dan mencari informasi faktual, 2) Mengekspresikan dan
mengubah sikap, 3) Meminta orang lain berbuat sesuatu, 4) Sosialisasi, 5)
Membangun wacana, dan 6) Meningkatkan keefektifan komonikasi.
Masing-masing
kategori tersebut di atas, dijabarkan kedalam beberapa subkategori yang lebih
rinci dan praktis. Fungsi pertama, misalnya, dijabarkan menjadi 5 (lima)
sub-kategori, yaitu: 1) mengidentifikasi/mendefinisis, 2) melaporkan,
mendeskripsikan atau menceritakan, 3) mengoreksi, 4) bertanya.
Adapun
masalah konteks, menurut Dell Hymes (dalam James, 1980), meliputi 6 (enam)
dimensi, yaitu: 1) tempat dan waktu (setting), seperti ruang
kelas, di masjid, di ma’had, di perpustakaan, dan di warung makan, 2) pengguna
bahasa (participants), seperti dokter dengan pasien, ustadz dan santri,
penjual dengan pembeli, 3) topik pembicaraan (content) seperti politik,
seks, pendidikan, kebudayaan, 4) tujuan (purpose) seperti bertanya,
menjawab, memuji, menjelaskan, mengejek, dan menyuruh, 5) nada (key)
seperti humor, marah, ironi, sarkasme, dan lemah lembut, dan 6) media/saluran (channel)
seperti tatap muka, melalui SMS, melalui telepon, melalui surat, E-mail, dan,
melalui tangan.
Dimasukkannya
konteks dalam memahami dan atau menghasilkan ujaran dimaksudkan untuk membangun
prinsip-prinsip kerjasama dan sopan santun dalam proses komunikasi, sehingga
tujuan komunikasi dapat dicapai secara efektif. Konteks itu sendiri terkait
erat dengan budaya, yang berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Apa
yang dianggap sebagai topik pembicaraan yang wajar oleh masyarakat Arab
misalnya, mungkin dianggap sebagai topik pembicaraan yang absurd oleh
masyarakat Indonesia, atau sebaliknya. Oleh karena itu, pengertian pragmatik
yang diberikan oleh Levinson di atas, menurut hemat penulis, pada prinsipnya
memberikan kerangka umum tentang bagaimana berkomunikasi secara tepat dan
efektif dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Kenyataan bahwa konteks itu
bisa berbeda-beda dari masyarakat satu ke masyarakat lain, dan hal ini tidak
menjadi fokus bahasa Levinson.
Itulah
sebabnya, Leech (1983) lebih suka menggunakan istilah Pragmatik umum (general
pragmatics) untuk mengacu pada kajian tentang kondisi umum penggunaan
bahasa untuk komunikasi. Ia mendasarkan gagasannya pada kenyataan bahwa prinsip
kerjasama dan sopan santun dalam berkomunikasi berlaku secara berbeda–beda
dalam setiap masyarakat.
Dalam
pragmatik umum sama sekali tidak mengatur masalah itu. Bahkan menurut Leech,
hal-hal yang bersifat lokal dan situasional dapat diatur dalam sosiopragmatik (sociopragmatics)
dan pragmalinguistik (pragmalinguistics), karena kedua bidang ini
merupakan cabang dari pragmatik umum. Sosio-pragmatik yang telah dikelaskan
Leech (1983) memiliki kesamaan dengan istilah yang oleh Michael Canale (1983)
di sebut dengan ketepatan isi (appropriateness in meaning), yaitu sejauh
mana fungsi komunikasi tertentu, sikap dan gagasan dianggap tepat sesuai dengan
situasi yang berlaku. Hal ini berhubungan erat dengan aspek sosiologi.
Sebagai
ilustrasi, membicarakan pesta ulang tahun yang penuh dengan kegembiraan dengan
teman-temannya pada saat menjenguk orang sakit keras di rumah sakit, hal ini
secara konteks tuturan jelas tidak tepat. Sementara itu, pragmalinguistik
menurut Leech kurang lebih sama dengan ketepatan bentuk (appropriateness in
form) menurut Canale. Hal ini mengacu pada sejauh mana makna bahasa
direpresentasikan ke dalam bentul verbal atau non verbal yang sesuai dengan
konteks pembicaraan. Ini terkait erat dengan dengan tata bahasa yang sesuai
dengan konteks pembicaraan. Sebagai contoh, seorang mahasiswa UIN yang
berterima kasih kepada dosennya dengan hanya mengucapkan trims, atau
memanggil Dosen /Ustadz hanya dengan menggunakan kata sapaan ”Boss”
biasanya di lingkungan UIN hal itu dianggap tidak sopan. Seyogyanya ia
mengatakan, sekurang-kurangnya terima kasih Pak/Bu (Sykron Ustadz...) atau
”Jam berapa Ustadz?” dan lain-lain. Dengan kata lain,
sosio-pragmatik ini sangat berkaitan dengan apa yang harus dikatakan dalam
situasi tertentu, sedangkan pragmalinguistik berkenaan dengan bagaimana
seorang penutur dapat mengatakan secara tepat.
Menurut
Leech (1983:11) pragmatik umum, sosio-pragmatik, dan pragmalinguistik memiliki
hubungan yang sinergis, hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Seorang pemerhati linguistik, Jenny
Thomas (1983) dalam artikelnya yang berjudul Cross cultural failure,
mencoba membahas kegagalan pragmalinguistik dan kegagalan sosiopragmatik.
Menurutnya, kegagalan pragmalinguistik pada dasarnya berkaitan dengan masalah
bahasa, yang disebabkan oleh berbagai macam perbedaan penyandian fungsi bahasa;
sedangkan kegagalan sosiopragmatik berkenaan dengan prilaku bahasa yang
disebabkan oleh kurangnya pengertian lintas budaya (cross Culture). Oleh
karena itu, apabila ada orang Indonesia yang mengajukan pertanyaan kepada orang
Arab yang baru pertama kali ditemuinya dengan pertanyaan “Hal ‘indak al
fulus?” (Apakah anda punya uang?) misalnya, maka orang itu dianggap
telah gagal berkomunikasi dalam kaitannya dengan aspek sosio-pragmatik, bukan
pada aspek pragmalinguistik, karena secara tata bahasa kalimat di atas tidak
salah. Dalam contoh di atas, bukan bahasanya yang salah tetapi pertanyaannya
yang kurang tepat karena kurang sesuai dengan konteks dan situasi tutuannya.
B. Sejarah Perkembangan Pragmatik
Sampai
saat ini, kajian pragmatik sangat dikenal dalam dunia linguistik. Meskipun
sebelumnya, di era 70-an banyak para linguis yang memperlakukan diskriminatif
terhadap kajian pragmatik ini bahkan hampir tidak pernah membahasnya. Namun
pada saat ini, banyak para linguis yang berpandangan bahwa mustahil bagi
pemakai bahasa dapat mengerti secara baik sifat-sifat bahasa yang mereka
gunakan dalam berkomunikasi tanpa mengerti hakekat pragmatik, yaitu bagaimana bahasa
sebagai alat komunikasi dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Senada
dengan hal di atas, Joko Nurkamto (2000) menjelaskan bahwa kajian di bidang
pragmatik mulai berkembang pada tahun 1971, yang ditandai dengan diterbitkannya
Journal of Pragmatics yang memuat persoalan-persoalan pragmatik. Sebuah
organisasi bernama IPRA (International Pragmatics Association)
didirikan, dan beberapa konferensi tentang masalah pragmatik diselenggarakan
(Soemarmo, 1988). Munculnya minat di bidang pragmatik tersebut dipicu oleh
beberapa alasan, salah satu di antaranya bersifat historis. Dalam hal ini Levinson (1983:35)
mengatakan bahwa “the interest developed in part as a reaction or antidote
to Chomsky’s treatment of language as abstract devise, or mental ability,
dissociable from the users, user and function of language..” sebagaimana
diketahui, Chomsky (1965: 1) mengatakan bahwa teori linguistik berkenaan
terutama dengan “an ideal speaker-listener, in a completely homogeneous
speech-community, who knows its language perfectly and is unaffected by such
grammatically irrelevant conditions as memory limitations, distructions, shifts
of attention and interest, and error in applying his knowledge of the language
in actual perfomance.”
Disamping
itu, terdapat sejumlah motivasi yang menyebabkan berkembangnya teori pragmatik.
Salah satu yang paling penting adalah kemungkinan bahwa pragmatik dapat
menyebabkan penyederhanaan semantik. Harapan ini didasarkan pada kenyataan
bahwa prinsip-prinsip pragmatik penggunaan bahasa dapat lebih memahami makna
ujaran yang tidak dapat secara tuntas dapat dipahami dari makna harfiahnya (semantics)
saja. Faktor lain yang bersifat substansial adalah adanya kesenjangan antara
teori bahasa yang berkenaan dengan pembentukan sejumlah rumus/pola tertentu
untuk dapat menghasilkan kalimat-kalimat yang jumlahnya tidak terbatas, orang
mungkin berkesimpulan bahwa teori tersebut dapat memberikan pencerahan tentang
bagaimana berkomunikasi dengan menggunakan bahasa.
Namun,
ketika Ia menemukan kenyataan bahwa makna bahasa hanya dibatasi pada aspek
semantik, bukan kepuasan yang ditemuinya melainkan kekecewaan. Diakui bahwa semantik
sangat penting dalam komunikasi, tetapi sumbangannya dapat dikatakan kecil
dalam pemahaman makna bahasa secara umum. Akhirnya, kemunculan kajian pragmatik
juga disebabkan oleh adanya kemungkinan bahwa penjelasan fungsional yang
signifikan dapat diberikan kepada fakta-fakta linguistik. Lazimnya
penjelasan-penjelasan linguistik hanya bersifat internal. Artinya, fitur-fitur
linguistik dijelaskan dengan merujuk pada fitur-fitur linguistik yang lain atau
pada aspek-aspek teori linguistik itu sendiri. Dalam kenyataannya, terdapat
kemungkinan penjelasan lain yang datang dari luar aspek linguistik (Levinson,
1983).
C. Antara Pragmatik dan Semantik
Pragmatik
dan semantik keduanya membicarakan makna. Perbedaan keduanya terletak pada
penggunaan kata kerja to mean sebagaimana dalam pertanyaan berikut ini
(Leech, 1983).
1. What does X mean? (Apa arti X?)
2. What do you mean by X? (Apa maksudmu dengan
X?)
Pada umumnya semantik menganggap makna sebagai suatu
hubungan yang melibatkan dua segi (dyadic), seperti pada kalimat (1)
sedangkan pragmatik menganggap makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan
tiga segi (triadic), sebagaimana tercermin pada kalimat (2) di atas. Dengan
demikian, dalam pragmatik makna diberi definisi dalam kaitannya dengan penutur,
sedangkan dalam semantik makna didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri
ungkapan dalam bahasa tertentu yang terpisah dari penuturnya (Leech, 1983).
Pendapat
lain mengatakan bahwa perbedaan antara semantik dan pragmatik terletak pada
konteks. Meskipun antara pragmatik dan semantik memiliki perbedaan namun disisi
lain kedua bagian linguistik ini justru memiliki hubungan yang sinergis dan
saling melengkapi walaupun agak sulit untuk dibuktikan secara obyektif. Namun
dalam hal ini menurut Leech (1993:8) dapat dilakukan suatu pembenaran dengan
cara negatif, yaitu dengan menunjukkan kegagalan-kegagalan atau kelemahan
pandangan ini. Pandangan yang lain adalah pertama, penggunaan makna
seperti pada kalimat (1) dan contoh kalimat (2) di atas termasuk bidang
semantik. Kedua, penggunaan makna pada contoh tersebut di atas termasuk
bidang pragmatik. Lebih jelasnya ketiga pandangan tersebut di atas dapat
dilihat pada bagan berikut ini:
Berdasarkan
bagan di atas, menunjukkan bahwa betapa sulitnya untuk merumuskan semantisme
dan pragmatisme serta meberikan contoh-contonya. Karena itu, menurut Leech
(1993:9) lebih mengacu kepada mereka yang lebih banyak memasukkan kajian makna
kedalam posisi semantisme, dan pragmatisis mengacu kepada mereka yang lebih
banyak memasukkan kajian makna kedalam posisi pragmatisme.
Berdasarkan
hal di atas, Joko Nurkamto (2000) menyimpulkan bahwa kajian semantik cenderung
mengkaji makna yang terlepas dari konteks ujaran. Sedangkan pragmatik
membicarakan makna dengan mempertimbangkan konteks ujaran tersebut. Oleh karena
itu, dalam memahami ujaran semisal: “Gadis itu cantik,” semantik hanya
mempertimbangkan faktor-faktor internal bahasa dalan ujaran itu, yaitu kosa
kata dan hubungan antar kosa kata itu; sedangkan pragmatik mempertimbangkan siapa
yang mengatakan kalimat itu, di mana, kapan, dan dalam situasi apa,
di samping faktor-faktor internal bahasanya. Bagi semantik, ujaran di atas
hanya berarti pemberitahuan bahwa gadis itu berwajah cantik; namun bagi kajian
pragmatik ujaran di atas dapat berarti ganda, yaitu: pemberitahuan bahwa gadis
itu berwajah cantik, anjuran atau keingnan bagi seorang pemuda untuk mengenali
dan mendekatinya, atau yang lebih dari sekedar itu tergantung pada konteksnya.
Meskipun
berbeda, dalam memahami makna suatu ujaran keduanya bekerjasama secara
komplementer. Artinya, makna suatu ujaran tidak dapat hanya didekati dari salah
satu satu sisi, baik semantik maupun pragmatik, melainkan harus dilihat dari
keduanya. Dalam contoh di atas, misalnya, orang tidak akan dapat memahami bahwa
ujaran “Gadis itu cantik” berarti anjuran atau keingnan bagi seorang
pemuda untuk mengenali dan mendekatinya (Pragmatics). Apabila ia tidak
memahami makna dasarnya maka hal itu masuk bidang semantik (semantics).
D. Sumber Kajian Pragmatik
Pragmatik
sebagai ilmu bersumber pada beberapa ilmu lain yang juga mengkaji bahasa dan
faktor-faktor yang berkaitan dengan penggunaan bahasa ilmu-ilmu itu ialah
filsafat bahasa, sosiolinguistik antropologi, dan linguistik – terutama analisa
wacana (discourse analysis)dan toeri deiksis (Nababan, 1987). Dari
filsafat bahasa pragmatik mempelajari tindak tutur (speech act) dan conversational
implicature. Dari sosiolinguistik, pragmatik membicarakan variasi bahasa,
kemampuan komunikatif, dan fungsi bahasa. Dari antropologi pragmatik
mempelajari etika berbahasa, konteks berbahasa, dan faktor non verbal. Dari
linguistik dan analisa wacana dibicarakan lebih dalam pada bagian-bagian
selanjutnya.
E. Obyek Kajian Pragmatik
Pada
uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa pragmatik mengacu pada kajian
penggunaan bahasa yang berdasarkan pada konteks. Bidang kajian yang berkenaan
dengan hal itu – yang kemudian lazim disebut bidang kajian pragmatic adalah
deiksis (dexis), praanggapan (presupposition), tindak tutur (speech
act), dan implikatur percakapan (conversational inplicature). Masing
bidang kajian di atas dibahas secara singkat di bawah ini:
Deiksis (Dexis)
Deiksis
adalah gejala semantik yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat
ditafsirkan acuannya dengan mempertimbangkan konteks pembicaraan (Hasan Alwi,
dkk., 1998). Kata saya, sini, sekarang, misalnya, tidak memiliki acuan yang
tetap melainkan bervariasi tergantung pada berbagai hal. Acuan dari kata saya
menjadi jelas setelah diketahui siapa yang mengucapkan kata itu. Kata sini
memiliki rujukan yang nyata setelah di ketahui di mana kata itu di
ucapkan. Demikian pula, kata sekarang ketika diketahui pula
kapan kata itu diujarkan. Dengan demikian kata-kata di atas termasuk
kata-kata yang deiktis. Berbeda halnya dengan kata-kata seperti meja, kursi,
mobil, dan komputer. Siapapun yang mengatakan, di manapun, dan kapanpun,
kata-kata tersebut memiliki acuan yang jelas dan tetap.
Bayangkan,
ketika seorang mahasiswa UIN mendapati tulisan di sebuah mikrolet jurusan
GL/LG, yang bertuliskan hari ini bayar, besok gratis. Demikian pula di
dalam sebuah warung makan di sekitar tempat kos mahasiswa, dijumpai sticker
yang bertuliskan Hari ini bayar, besok boleh ngutang. Ungkapan-ungkapan
di atas memiliki arti hanya apabila diujarkan oleh sopir mikrolet di hadapan
para penumpangnya atau oleh pemilik warung makan di depan para pengunjung
warung makannya.
Deiksis
dapat di bagi menjadi lima kategori, yaitu deiksis orang (persona),
waktu (time), tempat (place), wacana (discourse), dan
sosial (social) (Levinson, 1983). Deiksis orang berkenaan dengan
penggunaan kata ganti persona, seperti saya (kata ganti persona pertama),
kamu (kata ganti persona kedua). Contoh Bolehkah saya datang
kerumahmu? Kata saya dan -mu dapat dipahami acuannya hanya
apabila diketahui siapa yang mengucapkan kalimat itu, dan kepada
siapa ujaran itu ditujukan.
Deiksis
waktu berkenaan dengan penggunaan keterangan waktu, seperti kemarin,
hari ini, dan besok. Contoh, Bukankah besok hari libur? Kata besok
memiliki rujukan yang jelas hanya apabila diketahui kapan kalimat itu
diucapkan.
Deiksis tempat berkenaan
dengan penggunaan keterangan tempat, seperti di sini, di sana,
dan di depan. Contoh duduklah di sini!. Kata di sini
memiliki acuan yang jelas hanya apabila diketahui dimana kalimat itu
diujarkan.
Deiksis
wacana berkaitan dengan penggunaan ungkapan dalam suatu ujaran
untuk mengacu pada bagian dari ujaran yang mengandung ungkapan itu (termasuk
ungkapan itu sendiri), seperti berikut ini, pada bagian lalu, dan ini. Contoh, kata that pada
kalimat that was the funniest story ever heard. Penanda wacana
yang menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat lain. Seperti any way, by the way,
dan di samping itu juga termasuk dalam deiksis wacana. Deiksis sosial berkenaan
dengan aspek ujaran yang mencerrminkan realitas sosial tertentu pada saat
ujaran itu dihasilkan. Penggunaan kata Bapak pada kalimat “Bapak
dapat memberi kuliah hari ini?” Yang diucapkan oleh seorang mahasiswa kepada
dosennya mencerminkan deiksis sosial. Dalam contoh di atas dapat diketahui
tingkat sosial pembicara dan lawan bicara. Lawan bicara memiliki tingkat sosial
yang lebih tinggi dari pada pembicara.
F. Praanggapan (Presupposition)
Praanggapan adalah apa yang digunakan penutur sebagai dasar
bersama bagi para peserta percakapan (Brown dan yule, 1996); atau “What a
speaker or writer assumes that the receiver of the missage alredy knows”(Richards,
Platt, dan platt, 1993). Asumsi tersebut ditentukan
batas-batasannya berdasarkan anggapan-anggapan pembicara mengenai apa yang
kemungkinan akan diterima oleh lawan bicara tanpa tantangan. Sebagai ilustrasi perhatikan
percakapan di bawah ini:
A: What about inviting John tonight?
B: What a good idea; then he can give Monica a lift
Praanggapan yang terdapat dalam percakapan di atas antara
lain adalah (1) Bahwa A dan B kenal dengan John dan Monica, (2) bahwa John
memiliki kendaraan – kemungkinan besar mobil, dan (3) bahwa Monica tidak
memiliki kendaraan saat ini (Richard, Platt, dan Platt, 1993).
Dari contoh di atas dipahami bahwa apabila suatu kalimat
diucapkan, selain dari makna yang dinyatakan dengan pengucapan kalimat itu,
turut tersertakan pula tambahan makna, yang tidak dinyatakan dengan pengucapan
kalimat itu (Bambang Kaswanti Purwo, 1990).
G. Tindak Tutur (Speech Act)
Tindak tutur adalah adalah suatu
tuturan /ujaran yang merupakan satuan fungsional dalam komunikasi (Richard,
Platt, dan Platt, 1993). Teori tindak tutur di kemukakan oleh dua orang ahli
filsafat bahasa yang bernama John Austin dan John Searle pada tahun 1960-an. Menurut teori
tersebut, setiap kali pembicara mengucapkan suatu kalimat, Ia sedang berupaya
mengerjakan sesuatu dengan kata-kata (dalam kalimat) itu. Menurut istilah
Austin (1965: 94), “ By saying something we do something”. Seorang hakim
yang mengatakan “dengan ini saya menghukum kamu dengan hukuman penjara
selama lima tahun” sedang melakukan tindakan menghukum terdakwa. Kata-kata
yang diucapkan oleh hakim tersebut menandai dihukumnya terdakwa. Terdakwa tidak
akan masuk penjara tanpa adanya kata-kata dari hakim (Clark dan Clark,
1977:26).
Kata-kata
yang diungkapkan oleh pembicara memiliki dua jenis makna sekaligus, yaitu makna
proposisional atau makna lokusioner (locutionary meaning) dan makna
ilokusioner (illocutionary meaning). Makna proposisional adalah makna
harfiah kata-kata yang terucap itu. Untuk memahami makna ini pendengar cukup
melakukan decoding terhadap kata-kata tersebut dengan bekal pengetahuan
gramatikal dan kosa kata. Makna ilokusioner merupakan efek yang ditimbulkan
oleh kata-kata yang diucapkan oleh pembicara kepada pendengar. Sebagai
ilustrasi, dalam ungkapan “saya haus” makna proposisionalnya adalah
pernyataan yang menggambarkan kondisi fisik pembicara bahwa Ia haus. Makna
ilokusionernya adalah efek yang diharapkan muncul dari pernyataan tersebut
terhadap pendengar. Pernyataan tersebut barangkali dimaksudkan sebagai
permintaan kepada pendengar untuk menyediakan minuman bagi pembicara.
Searle
(1986) dalam Joko Nurkamto (2000) membagi tindak tutur menjadi lima. Pertama,
komisif (commisive), yaitu tindak tutur yang menyatakan bahwa pembicara
akan melakukan sesuatu di masa akan datang, seperti janji atau ancaman. Contoh:
Saya akan melamarmu bulan depan. Kedua, deklaratif (declarative),
yaitu tindak tutur yang dapat mengubah keadaan. Contoh: Dengan ini Anda saya
nyatakan lulus. Kata-kata tersebut mengubah status seseorang dari keadaan
belum lulus ke keadaan lulus. Ketiga, direktif (directive), yaitu
tindak tutur yang berfungsi meminta pendengar untuk melakukan sesuatu seperti
saran, permintaan, dan perintah. Contoh: Silahkan duduk!. Keempat,
ekspresif (expressive), yaitu tindak tutur yang digunakan oleh pembicara
untuk mengungkapkan perasaan dan sikap terhadap sesuatu. Contoh: Mahasiswi
itu cantik sekali. Kelima, representatif (representative),
yaitu tindak tutur yang menggambarkan keadaan atau kejadian, seperti laporan,
tuntutan, dan pernyataan. Contoh: Ujian Akhir Semester dimulai pukul tujuh.
Dari
uraian di atas tampak bahwa tindak tutur (speech act) merupakan fungsi
bahasa (language function), yaitu tujuan digunakan bahasa, seperti untuk
memuji, meminta maaf, memberi saran, dan mengundang. Fungsi-fungsi tersebut
tidak dapat ditentukan hanya dari bentuk gramatikalnya, tetapi juga dari
konteks digunakannya bahasa tersebut. Sebagai contoh, Kalimat deklaratif yang
secara tradisional digunakan untuk membuat pernyataan (statement) dapat
digunakan untuk menyatakan permintaan atau perintah (Sinclair dan Coulthard,
1975).
Oleh karena
itu, dalam teori tindak tutur (speech act) dikenal istilah tindak tutur
tidak langsung (indirect speech act), yaitu tindak tutur yang
dikemukakan secara tidak langsung. Bandingkan kedua ujaran berikut ini, yang
diucapkan seorang tamu kepada tuan rumahnya:
A: Maaf lho Bu, Gelasnya bocor
B: Bu, saya haus
Kalimat (1)
adalah contoh tindak tutur tidak langsung, dan kalimat (2) adalah kalimat
contoh tindak tutur langsung. Dalam komunikasi sehari-hari, tindak
tutur langsung sering dianggap lebih sopan dari pada tindak tutur langsung,
terutama apabila berkaitan dengan permintaan (requests) dan penolakan (refusals).
Implikatur
Percakapan (Conversational Inplicature)
Istilah
implikatur dipakai oleh Grice (1975) untuk menerangkan apa yang mungkin di
artikan, disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda dengan apa
yang sebenarnya dikatakan oleh penutur itu (Brown dan Yule, 1996). Menurut
Levinson (1983), implikatur percakapan merupakan penyimpangan dari muatan
semantik suatu kalimat. Dikatakan
bahwa:
“they grenerate inferences beyond
the semantic content of the sentences uttered. Such inferences are, by
definition, conversational implicatures, where the term implicature is intended
to contrast with the term like logical implication, entaiment and logical
consequences which are generally used to refer to inferences that are derived
solely from logical and semantic content.
Sejarah Perkembangan
Pragmatik
Pragmatik telah tumbuh di Eropa pada 1940-an dan berkembang di Amerika sejak tahun 1970-an. Morris (1938) dianggap sebagai peletak tonggaknya lewat pandangannya tentang semiotik. Ia membagi ilmu tanda itu menjadi tiga cabang: sintaksis, semantik, dan pragmatik. Kemudian Halliday (1960) yang berusaha mengembangkan teori sosial mengenai bahasa yang memandang bahasa sebagai fenomena sosial.
Di Amerika, karya filsuf Austin (1962) dan muridnya Searle (1969, 1975), banyak mengilhami perkembangan pragmatik. Karya Austin yang dianggap sebagai perintis pragmatik berjudul How to Do Things with Words (1962). Dalam karya tersebut, Austin mengemukakan gagasannya mengenai tuturan performatif dan konstatif.
Pragmatik telah tumbuh di Eropa pada 1940-an dan berkembang di Amerika sejak tahun 1970-an. Morris (1938) dianggap sebagai peletak tonggaknya lewat pandangannya tentang semiotik. Ia membagi ilmu tanda itu menjadi tiga cabang: sintaksis, semantik, dan pragmatik. Kemudian Halliday (1960) yang berusaha mengembangkan teori sosial mengenai bahasa yang memandang bahasa sebagai fenomena sosial.
Di Amerika, karya filsuf Austin (1962) dan muridnya Searle (1969, 1975), banyak mengilhami perkembangan pragmatik. Karya Austin yang dianggap sebagai perintis pragmatik berjudul How to Do Things with Words (1962). Dalam karya tersebut, Austin mengemukakan gagasannya mengenai tuturan performatif dan konstatif.
H. Perkembangan Pragmatik di Indonesia
Istilah pragmatik secara nyata di Indonesia muncul pada 1984 ketika diberlakukannya Kurikulum Sekulah Menengah Atas tahun 1984. Dalam kurikulum ini pragmatik merupakan salah satu pokok bahasan bidang studi bahasa Indonesia (Depdikbud, 1984).
Beberapa karya mengenai pragmatik mulai bermunculan. Diawali oleh Tarigan (1986) yang membahas tentang pragmatik secra umum. Nababan (1987) dan Suyono (1990) juga masih terkesan „memperkenalkan pragmatik“, sebab belum membahas pragmatik secara rinci dan luas. Pada karya Tallei (1988), Lubis (1993), dan Ibrahim (1993) tampak deskripsi yang agak mendalam, tetapi orisinalitas gagasanya agak diragukan karena, terutama pada karya Tallei, hampir sepenuhnya mengacu pada buku Discourse Analyses karya Stubbs (1983). Buku pragmatik pertama yang tergolong kritis adalah karya Bambang Kaswanti Purwo (1990) dengan judul Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Karya Wijana (1996) yang berjudul Dasar-dasar Pragmatik sudah menuju ke arah pragmatik yang lebih lengkap dan mendalam
C.
Aspek-aspek Pragmatik
Beberapa
aspek Pragmatik seperti di bawah ini:
•
Penutur dan lawan tutur
Konsep
penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan yang
bersangkutan dikomunikasikan dalam bentuk tulisan. Aspek-aspek tersebut adalah
usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan
sebagainya.
• Konteks tuturan
Konteks
di sini meliputi semua latar belakang pengetahuan yang diperkirakan dimiliki
dan disetujui bersama oleh penutur dan lawan tutur, serta yang menunjang
interpretasi lawan tutur terhadap apa yang dimaksud penutur dengan suatu ucapan
tertentu.
• Tujuan tuturan
Setiap
situasi tuturan atau ucapan tentu mengandung maksud dan tujuan tertentu pula.
Kedua belah pihak yaitu penutur dan lawan tutur terlibat dalam suatu kegiatan
yang berorientasi pada tujuan tertentu.
• Tuturan sebagai bentuk tindakan dan kegiatan tindak tutur
Dalam pragmatik ucapan dianggap sebagai suatu bentuk kegiatan yaitu kegiatan tindak ujar. Pragmatik menggarap tindak-tindak verbal atau performansi-performansi yang berlangsung di dalam situasi-situasi khusus dalam waktu tertentu.
• Tuturan sebagai produk tindak verbal
Dalam
pragmatik tuturan mengacu kepada produk suatu tindak verbal, dan bukan hanya
pada tindak verbalnya itu sendiri. Jadi yang dikaji oleh pragmatik bukan hanya
tindak ilokusi, tetapi juga makna atau kekuatan ilokusinya.(Leech, 1993:19)
Pertimbangan aspek-aspek situasi tutur seperti di atas dapat menjelaskan keberkaitan antara konteks tuturan dengan maksud yang ingin dikomunikasikan.
I. Pragmatik dalam Linguistik
Pertimbangan aspek-aspek situasi tutur seperti di atas dapat menjelaskan keberkaitan antara konteks tuturan dengan maksud yang ingin dikomunikasikan.
I. Pragmatik dalam Linguistik
Seperti
telah saya uraikan sedikit dalam sub 3 di atas, salah satu kecenderungan yang
melatarbelakangi berkembangnya pragmatik adalah antisintaksisme Lakoff dan
Ross. Dalam sintaksis, seperti dikemukakan oleh Yule (1996: 4), dipelajari
bagaimana hubungan antarbentuk linguistis, bagaimana bentuk-bentuk tersebut
dirangkai dalam kalimat, dan bagaimana rangkaian tersebut dapat dinyatakan
well-formed secara gramatikal. Secara umum, sintaksis tidak mempersoalkan baik
makna yang ditunjuknya maupun pengguna bahasanya, sehingga bentuk seperti
kucing menyapu halaman, meskipun tidak dapat diverifikasi secara empiris, tetap
dapat dinyatakan apik secara sintaksis.
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan atas prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi tetap dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam etnometodologi, bahasa digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat dipahami, dan memang sering kita temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun menggunakan bahasa yang tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para anggota masyarakat tutur untuk mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya studi pragmatik dalam linguistik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa.
Pembahasan tentang makna membawa kita pada pentingnya semantik, yaitu tataran linguistik yang mengkaji hubungan antara bentuk-bentuk linguistik (linguistic forms) dan entitas yang terdapat di luar bahasa, dalam analisis bahasa. Berdasarkan truth conditional semantics, untuk dapat dinyatakan benar, sebuah pernyataan harus dapat diverifikasi secara empiris atau harus bersifat analitis. Dengan demikian, bentuk kucing menyapu halaman adalah bentuk yang tidak berterima secara semantis, karena tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan termasuk pernyataan logika. Namun demikian, pembahasan makna dalam semantik belum memadai, karena masih mengabaikan unsur pengguna bahasa, sehingga bentuk seperti seandainya saya dapat berdiri tentu saya tidak akan dapat berdiri dan saya akan datang besok pagi, meskipun bentuk seperti ini dapat saja kita jumpai, tidak dapat dinyatakan benar karena yang pertama menyalahi logika dan yang kedua tidak dapat diverifikasi langsung. Dengan kata lain, untuk menjelaskan fenomena pemakaian bahasa sehari-hari, di samping sintaksis dan semantik, dibutuhkan juga pragmatik yang dalam hal ini saya pahami sebagai bidang yang mengkaji hubungan antara struktur yang digunakan penutur, makna apa yang dituturkan, dan maksud dari tuturan. Kegunaan pragmatik, yang tidak terdapat dalam sintaksis dan semantik, dalam hal ini dapat ditunjukkan dengan, misalnya, bagaimana strategi kesantunan mempengaruhi penggunaan bahasa, bagaimana memahami implikatur percakapan, dan bagaimana kondisi felisitas yang memungkinkan bagi sebuah tindak-tutur.
Selanjutnya, untuk melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik, saya akan mengemukakan pendapat Leech (1980). Menurut Leech (dalam Eelen 2001: 6) perbedaan antara semantik dan pragmatik pada, pertama, semantik mengkaji makna (sense) kalimat yang bersifat abstrak dan logis, sedangkan pragmatik mengkaji hubungan antara makna ujaran dan daya (force) pragmatiknya; dan kedua, semantik terikat pada kaidah (rule-governed), sedangkan pragmatik terikat pada prinsip (principle-governed). Tentang perbedaan yang pertama, meskipun makna dan daya adalah dua hal yang berbeda, keduanya tidak dapat benar-benar dipisahkan, sebab daya mencakup juga makna. Dengan kata lain, semantik mengkaji makna ujaran yang dituturkan, sedangkan pragmatik mengkaji makna ujaran yang terkomunikasikan atau dikomunikasikan. Selanjutnya, kaidah berbeda dengan prinsip berdasarkan sifatnya. Kaidah bersifat deskriptif, absolut atau bersifat mutlak, dan memiliki batasan yang jelas dengan kaidah lainnya, sedangkan prinsip bersifat normatif atau dapat diaplikasikan secara relatif, dapat bertentangan dengan prinsip lain, dan memiliki batasan yang bersinggungan dengan prinsip lain.
Lebih jauh lagi, dalam pengajaran bahasa, seperti diungkapkan Gunarwan (2004: 22), terdapat keterkaitan, yaitu bahwa pengetahuan pragmatik, dalam arti praktis, patut diketahui oleh pengajar untuk membekali pemelajar dengan pengetahuan tentang penggunaan bahasa menurut situasi tertentu. Dalam pengajaran bahasa Indonesia, misalnya, pengetahuan ini penting untuk membimbing pemelajar agar dapat menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan situasinya, karena selain benar, bahasa yang digunakan harus baik. Dalam pengajaran bahasa asing, pengetahuan tentang prinsip-prinsip pragmatik dalam bahasa yang dimaksud penting demi kemampuan komunikasi yang baik dalam bahasa tersebut. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa kaitan antara pragmatik dan pengajaran bahasa adalah dalam hal kompetensi komunikatif yang mencakup tiga macam kompetensi lain selain kompetensi gramatikal (grammatical competence), yaitu kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence) yang berkaitan dengan pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu, kompetensi wacana (discourse competence) yang berkaitan dengan kemampuan untuk menuangkan gagasan secara baik, dan kompetensi strategik (strategic competence) yang berkaitan dengan kemampuan pengungkapan gagasan melalui beragam gaya yang berlaku khusus dalam setiap bahasa.
J. PENGERTIAN DEIKSIS
1.
Pengertian Deiksisi
Deiksis
berasal dari kata Yunani kuno yang berarti “menunjukkan atau menunjuk”. Dengan
kata lain informasi kontekstual secara leksikal maupun gramatikal yang menunjuk
pada hal tertentu baik benda, tempat, ataupun waktu itulah yang disebut dengan
deiksis, misalnya he, here, now. Ketiga ungkapan itu memberi perintah untuk
menunjuk konteks tertentu agar makna ujaran dapat di pahami dengan tegas.Tenses
atau kala juga merupakan jenis deiksis. Misalnya then hanya dapat di rujuk dari
situasinya.
Deiksis didefinisikan sebagai ungkapan yang terikat dengan konteksnya. Contohnya dalam kalimat “Saya mencintai dia”, informasi dari kata ganti “saya” dan “dia” hanya dapat di telusuri dari konteks ujaranPraanggapan
Jenis-jenis praanggapan. Hanya mungkin terdapat perbedaan istilah saja. Penulis dapat mengambil simpulan bahwa jenis praanggapan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu praanggapan yang ditinjau dari segi semantik dan praanggapan yang ditinjau dari segi pragmatik. Perbedaan ini disebabkan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Marmaridou (dalam Louise Cummings, 1999: 52) di atas. Pada awalnya, praanggapan dikaji berdasarkan ilmu semantik, jadi hanya berkutat pada makna leksikal dan gramatikal saja. Namun, praanggapan semantik kurang dapat menjelaskan pada aspek tertentu sehingga muncul pendapat baru ahli bahasa yaitu praanggapan pragmatik yang telah mengaitkan aspek konteks bahasa di dalam ujaran atau kalimat tersebut
raangapan merupakan suatu pengalaman manusia sehari-hari sehingga praanggapan juga merupakan gejala yang mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Namun, sering kita tidak sadar akan hal itu. Dalam makalah ini akan dijelaskan secara singkat mengenai apa itu praanggapan? Apa saja ciri praanggapan? Dan apa saja jenis praanggapan?
1. Pengertian Praanggapan
Praanggapan
(presuposisi) berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam bahasa Inggris
berarti to suppose beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti sebelum
pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki dugaan sebelumnya
tentang kawan bicara atau hal yang dibicarakan .
Selain definisi tersebut, beberapa definisi lain tentang praanggapan di antaranya adalah :
Selain definisi tersebut, beberapa definisi lain tentang praanggapan di antaranya adalah :
Levinson (dalam Nababan, 1987: 48) memberikan konsep praanggapan yang disejajarkan maknanya dengan presupposition sebagai suatu macam anggapan atau pengetahuan latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori, atau ungkapan mempunyai makna.
George Yule (2006 : 43) menyatakan bahwa praanggapan atau presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Yang memiliki presuposisi adalah penutur bukan kalimat. Louise Cummings (1999: 42) menyatakan bahwa praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu.
Nababan
(1987: 46), memberikan pengertian praanggapan sebagai dasar atau penyimpulan
dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat
bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar atau
penerima bahasa itu dan sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk
bahasa yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang
dimaksud.
Dari beberapa definisi praanggapan di atas dapat disimpulkan bahwa praanggapan adalah kesimpulan atau asumsi awal penutur sebelum melakukan tuturan bahwa apa yang akan disampaikan juga dipahami oleh mitra tutur. Untuk memperjelas hal ini, perhatikan contoh berikut :
A : “Aku sudah membeli bukunya Pak Pranowo kemarin”
B : “Dapat potongan 30 persen kan?
Contoh percakapan di atas menunjukkan bahwa sebelum bertutur A memiliki praanggapan bahwa B mengetahui maksudnya yaitu terdapat sebuah buku yang ditulis oleh Pak Pranowo.
2. Ciri Praanggapan
Ciri praanggapan yang mendasar adalah sifat keajegan di bawah penyangkalan (Yule;2006:45). Hal ini memiliki maksud bahwa praanggapan (presuposisi) suatu pernyataan akan tetap ajeg (tetap benar) walaupun kalimat itu dijadikan kalimat negatif atau dinegasikan. Sebagai contoh perhatikan beberapa kalimat berikut :
(2) a. Gitar Budi itu baru
b. Gitar Budi tidak baru
Kalimat (2b) merupakan bentuk negatif dari kaliamt (2a). Praanggapan dalam kalimat (2a) adalah Budi mempunyai gitar. Dalam kalimat (2b), ternyata praanggapan itu tidak berubah meski kalimat (2b) mengandung penyangkalan tehadap kalimat (2a), yaitu memiliki praanggapan yang sama bahwa Budi mempunyai gitar.
Wijana dalam Nadar (2009 : 64) menyatakan bahwa sebuah kalimat dinyatakan mempresuposisikan kalimat yang lain jika ketidakbenaran kalimat yang kedua (kalimat yang diprosuposisikan) mengakibatkan kalimat pertama (kalimat yang memprosuposisikan) tidak dapat dikatakan benar atau salah. Untuk memperjelas pernyataan tersebut perhatikan contoh berikut.
(3) a. Istri pejabat itu cantik sekali
b. Pejabat itu mempunyai istri
Kalimat (3b) merupakan praanggapan (presuposisi) dari kalimat (3a). Kalimat tersebut dapat dinyatakan benar atau salahnya bila pejabat tersebut mempunyai istri. Namun, bila berkebalikan dengan kenyataan yang ada (pejabat tersebut tidak mempunyai istri), kalimat tersebut tidak dapat ditentukan kebenarannya.
3. Jenis-jenis Praanggapan
Praanggapan (presuposisi) sudah diasosiasikan dengan pemakaian sejumlah besar kata, frasa, dan struktur (Yule; 2006 : 46). Selanjutnya Gorge Yule mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6 jenis praanggapan, yaitu presuposisi eksistensial, presuposisi faktif, presuposisi non-faktif, presuposisi leksikal, presuposisi struktural,dan presuposisi konterfaktual.
3.1. Presuposisi Esistensial
Presuposisi (praanggapan) eksistensial adalah preaanggapan yang menunjukkan eksistensi/ keberadaan/ jati diri referen yang diungkapkan dengan kata yang definit.
(4). a. Orang itu berjalan
b. Ada orang berjalan
3.2. Presuposisi Faktif
Presuposisi (praanggapan) faktif adalah praanggapan di mana informasi yang dipraanggapkan mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai suatu kenyataan.
(5) a. Dia tidak menyadari bahwa ia sakit
b. Dia sakit
(6) a. Kami menyesal mengatakan kepadanya
b. Kami mengatakan kepadanya
3.3. Presuposisi Leksikal
Presuposisi (praanggapan) leksikal dipahami sebagai bentuk praanggapan di mana makna yang dinyatakan secara konvensional ditafsirkan dengan praanggapan bahwa suatu makna lain (yang tidak dinyatakan) dipahami.
(7) a. Dia berhenti merokok
b. Dulu dia biasa merokok
(8) a. Mereka mulai mengeluh
b. Sebelumnya mereka tidak mengeluh
3.4. Presuposisi Non-faktif
Presuposisi (praanggapan) non-faktif adalah suatu praanggapan yang diasumsikan tidak benar.
(9) a. Saya
membayangkan bahwa saya kaya
b. Saya tidak kaya
(10) a. Saya membayangkan berada di Hawai
b. Saya tidak berada di Hawai
3.5. Presuposisi Struktural
Presuposisi (praanggapan) struktural mengacu pada sturktur kalimat-kalimat tertentu telah dianalisis sebagai praanggapan secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat tanya, secara konvensional diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan di mana) seudah diketahui sebagai masalah.
(11) a. Di mana Anda membeli sepeda itu?
b. Anda membeli sepeda
(12) a. Kapan dia pergi?
b. Dia pergi
3.6. Presuposisi konterfaktual
Presuposisi (praanggapan) konterfaktual berarti bahwa yang di praanggapkan tidak hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari benar atau bertolak belakang dengan kenyataan.
(11) a. Seandainya
TINDAK TUTUR
1. Pengertian
Tindak tutur (istilah Kridalaksana ‘pertuturan’ / speech act, speech event): pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar (Kridalaksana, 1984: 154)
Speech act: an utterance as a functional unit in communication (Richards et al, 1989: 265). Di dalam mengatakan suatu kalimat, seseorang tidak semata-mata mengatakan sesuatu dengan pengucapan kalimat itu. Di dalam pengucapan kalimat ia juga “menindakkan” sesuatu. Dengan pengucapan kalimat Arep ngombe apa? si pembicara tidak semata-mata menanyakan atau meminta jawaban tertentu; ia juga menindakkan sesuatu, yakni menawarkan minuman. Seorang ibu rumah pondokan putri, mengatakan Sampun jam sanga ia tidak semata-mata memberi tahu keadaan jam pada waktu itu; ia juga menindakkan sesuatu, yaitu memerintahkan si mitratutur supaya pergi meninggalkan rumah pondokannya.
Hal-hal apa sajakah yang dapat ditindakkan di dalam berbicara? Ada cukup banyak; antara lain, permintaan (requests), pemberian izin (permissons), tawaran (offers), ajakan (invitation), penerimaan akan tawaran (acceptation of offers)
2. Tindak Tutur dan Jenis-jenisnya
Tindak tutur (selanjutnya TT) atau tindak ujaran (speech act) mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pragmatik karena TT adalah satuan analisisnya. Uraian berikut memaparkan klasifikasi dari berbagai jenis TT.
2.1 Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Austin (1962) dalam How to do Things with Words mengemukakan bahwa mengujarkan sebuah kalimat tertentu dapat dipandang sebagai melakukan tindakan (act), di samping memang mengucapkan kalimat tersebut. Ia membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
b. Saya tidak kaya
(10) a. Saya membayangkan berada di Hawai
b. Saya tidak berada di Hawai
3.5. Presuposisi Struktural
Presuposisi (praanggapan) struktural mengacu pada sturktur kalimat-kalimat tertentu telah dianalisis sebagai praanggapan secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat tanya, secara konvensional diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan di mana) seudah diketahui sebagai masalah.
(11) a. Di mana Anda membeli sepeda itu?
b. Anda membeli sepeda
(12) a. Kapan dia pergi?
b. Dia pergi
3.6. Presuposisi konterfaktual
Presuposisi (praanggapan) konterfaktual berarti bahwa yang di praanggapkan tidak hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari benar atau bertolak belakang dengan kenyataan.
(11) a. Seandainya
TINDAK TUTUR
1. Pengertian
Tindak tutur (istilah Kridalaksana ‘pertuturan’ / speech act, speech event): pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar (Kridalaksana, 1984: 154)
Speech act: an utterance as a functional unit in communication (Richards et al, 1989: 265). Di dalam mengatakan suatu kalimat, seseorang tidak semata-mata mengatakan sesuatu dengan pengucapan kalimat itu. Di dalam pengucapan kalimat ia juga “menindakkan” sesuatu. Dengan pengucapan kalimat Arep ngombe apa? si pembicara tidak semata-mata menanyakan atau meminta jawaban tertentu; ia juga menindakkan sesuatu, yakni menawarkan minuman. Seorang ibu rumah pondokan putri, mengatakan Sampun jam sanga ia tidak semata-mata memberi tahu keadaan jam pada waktu itu; ia juga menindakkan sesuatu, yaitu memerintahkan si mitratutur supaya pergi meninggalkan rumah pondokannya.
Hal-hal apa sajakah yang dapat ditindakkan di dalam berbicara? Ada cukup banyak; antara lain, permintaan (requests), pemberian izin (permissons), tawaran (offers), ajakan (invitation), penerimaan akan tawaran (acceptation of offers)
2. Tindak Tutur dan Jenis-jenisnya
Tindak tutur (selanjutnya TT) atau tindak ujaran (speech act) mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pragmatik karena TT adalah satuan analisisnya. Uraian berikut memaparkan klasifikasi dari berbagai jenis TT.
2.1 Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Austin (1962) dalam How to do Things with Words mengemukakan bahwa mengujarkan sebuah kalimat tertentu dapat dipandang sebagai melakukan tindakan (act), di samping memang mengucapkan kalimat tersebut. Ia membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
Lokusi adalah semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam kamus) dan makna kalimat itu sesuai dengan kaidah sintaksisnya. Di sini maksud atau fungsi ujaran itu belum menjadi perhatian. Jadi, apabila seorang penutur (selanjutnya disingkat P) Jawa mengujarkan “Aku ngelak” dalam tindak lokusi kita akan mengartikan “aku” sebagai ‘pronomina persona tunggal’ (yaitu si P) dan “ngelak” mengacu ke ‘tenggorokan kering dan perlu dibasahi’, tanpa bermaksud untuk minta minum.
Ilokusi
adalah tindak melakukan sesuatu. Di sini kita mulai berbicara tentang maksud
dan fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan, untuk apa ujaran itu dilakukan.
Jadi, “Aku ngelak” yang diujarkan oleh P dengan maksud ‘minta minum’ adalah
sebuah tindak ilokusi.
Perlokusi mengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh P. Secara singkat, perlokusi adalah efek dari TT itu bagi mitra-tutur (selanjutnya MT). Jadi, jika MT melakukan tindakan mengambilkan air minum untuk P sebagai akibat dari TT itu maka di sini dapat dikatakan terjadi tindak perlokusi.
2.2 TT Representatif, Direktif, Ekspresif, Komisif, dan Deklaratif
Searle (1975) mengembangkan teori TT dan membaginya menjadi lima jenis TT (dalam Ibrahim, 1993: 11-54). Kelima TT itu sebagai berikut:
(1) TT representatif yaitu TT yang mengikat P-nya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya, misalnya menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan menyebutkan.
(2) TT direktif yaitu TT yang dilakukan P-nya dengan maksud agar si pendengar atau MT melakukan tindakan yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang.
(3) TT ekspresif ialah TT yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, mengritik, dan mengeluh.
(4) TT komisif adalah TT yang mengikat P-nya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam ujarannya, misalnya berjanji dan bersumpah.
Pada bagian terdahulu telah disinggung bahwa di dalam komunikasi satu fungsi dapat dinyatakan atau diutarakan melalui berbagai bentuk ujaran. Untuk maksud atau fungsi “menyuruh”, misalnya, menurut Blum-Kulka (1987) (lihat Gunarwan, 1993: dapat diungkapkan dengan menggunakan berbagai ujaran sebagai berikut.
Perlokusi mengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh P. Secara singkat, perlokusi adalah efek dari TT itu bagi mitra-tutur (selanjutnya MT). Jadi, jika MT melakukan tindakan mengambilkan air minum untuk P sebagai akibat dari TT itu maka di sini dapat dikatakan terjadi tindak perlokusi.
2.2 TT Representatif, Direktif, Ekspresif, Komisif, dan Deklaratif
Searle (1975) mengembangkan teori TT dan membaginya menjadi lima jenis TT (dalam Ibrahim, 1993: 11-54). Kelima TT itu sebagai berikut:
(1) TT representatif yaitu TT yang mengikat P-nya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya, misalnya menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan menyebutkan.
(2) TT direktif yaitu TT yang dilakukan P-nya dengan maksud agar si pendengar atau MT melakukan tindakan yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang.
(3) TT ekspresif ialah TT yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, mengritik, dan mengeluh.
(4) TT komisif adalah TT yang mengikat P-nya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam ujarannya, misalnya berjanji dan bersumpah.
Pada bagian terdahulu telah disinggung bahwa di dalam komunikasi satu fungsi dapat dinyatakan atau diutarakan melalui berbagai bentuk ujaran. Untuk maksud atau fungsi “menyuruh”, misalnya, menurut Blum-Kulka (1987) (lihat Gunarwan, 1993: dapat diungkapkan dengan menggunakan berbagai ujaran sebagai berikut.
(1) Kalimat bermodus
imperatif : Pindhahen meja iki!
(2) Performatif eksplisit : Dakjaluk sliramu mindhahke meja iki!
(3) Performatif berpagar : Aku jan-jane arep njaluk tulung sliramu mindhahke meja iki.
(4) Pernyataan keharusan : Sliramu kudu mindhahke meja iki!
(5) Pernyataan keinginan : Aku kepengin meja iki dipindhah.
(6) Rumusan saran : Piye yen meja iki dipindhah?
(7) Persiapan pertanyaan : Kowe bisa mindhah meja iki?
(8) Isyarat kuat : Yen meja iki ana ing kene, kamar iki katon rupek.
(9) Isyarat halus : Kamar iki kok katone sesak ngono ya?
2.3 TT Langsung vs TT Tidak Langsung
Dari sembilan bentuk ujaran tersebut diperoleh sembilan TT yang berbeda-beda derajat kelangsungannya dalam menyampaikan maksud ‘menyuruh memindahkan meja’ itu. Hal ini berkaitan dengan tindak tutur langsung (TT-L) dan tindak tutur tidak langsung (TT-TL). Derajat kelangsungan TT dapat diukur berdasarkan “jarak tempuh” antara titik ilokusi ( di benak P) ke titik tujuan ilokusi (di benak MT). Derajat kelangsungan dapat pula diukur berdasarkan kejelasan pragmatisnya: makin jelas maksud ujaran makin langsunglah ujaran itu, dan sebaliknya. Dari kesembilan bentuk ujaran tersebut, yang paling samar-samar maksudnya ialah bentuk ujaran (9), berupa isyarat halus. Karena kata “meja” sama sekali tidak disebutkan oleh P dalam ujaran (9), maka MT harus mencari-cari konteks yang relevan untuk dapat menangkap maksud P.
Selain TT-L dan TT-TL, P dapat juga menggunakan tindak tutur harafiah (TT-H) atau tindak tutur tidak harafiah (TT-TH) di dalam mengutarakan maksudnya. Jika kedua hal itu, kelangsungan dan keharafiahan ujaran, digabungkan maka akan didapatkan empat macam ujaran, yaitu:
(1) TT-LH : “Buka mulut”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi kepada pasiennya.
(2) TT-LTH : “Tutup mulut”, misalnya diucapkan oleh seseorang yang jengkel kepada MT-nya yang selalu “cerewet”.
(3) TT-TLH : “Bagaimana kalau mulutnya dibuka?”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi kepada pasien yang masih kecil agar anak itu tidak takut.
(4) TT-TLTH : “Untuk menjaga rahasia, lebih baik jika kita semua sepakat menutup mulut kita masing-masing”, misalnya diucapkan oleh P yang mengajak MT-nya untuk tidak membuka rahasia.
Dengan demikian, secara ringkas, berdasarkan uraian dan contoh-contoh di atas dapat dicatat ada delapan TT sebagai berikut (bandingkan Wijana, 1996: 36).
(1) Tindak tutur langsung (TT-L)
(2) Tindak tutur tidak langsung (TT-TL)
(3) Tindak tutur harafiah (TT-H)
(4) Tindak tutur tidak harafiah (TT-TH)
(5) Tindak tutur langsung harafiah (TT-LH)
(6) Tindak tutur tidak langsung harafiah (TT-TLH)
(7) Tindak tutur langsung tidak harafiah (TT-LTH)\
(8) Tindak tutur tidak langsung tidak harafiah (TT-TLTH)
Apabila seseorang menggunakan bahasa, maka ada 3 jenis tindakan atau tindak tutur (selanjutnya disingkat TT), yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Hal ini sejalan dengan pendapat Austin (1962) yang melihat adanya tiga jenis tindak ujar, yaitu tindak lokusi (melakukan tindakan mengatakan sesuatu), tindak ilokusi (melakukan tidakan dalam mengatakan sesuatu), dan tindak perlokusi (melakukan tindakan dengan mengatakan sesuatu). Misalnya:
1. Lokusi n mengatakan kepada t bahwa X.
(merupakan tindak mengatakan sesuatu: menghasilkan serangkaian bunyi yang berarti sesuatu. Ini merupakan aspek bahasa yang merupakan pokok penekanan linguistik tradisional).
2. Ilokusi Dalam mengatakan X, n menegaskan (asserts) bahwa P.
(Dilakukan dengan mengatakan sesuatu, dan mencakup tindak-tindak seperti bertaruh, berjanji, menolak, dan memesan. Sebagian verba yang digunakan untuk melabel tindak ilokusi bisa digunakan secara performatif. Dengan demikian mengatakan Saya menolak bahwa Xsama halnya menolak bahwa X.)
3. Perlokusi Dengan mengatakan X, n meyakinkan (convinces) t bahwa P.
(Menghasilkan efek tertentu pada pendengar. Persuasi merupakan tindak perlokusi: orang tidak dapat mempersuai seseorang tentang sesuatu hanya dengan mengatakan Saya mempersuasi anda. Contoh-contoh yang sesuai adalah meyakinkan, melukai, menakut-nakuti, dan membuat tertawa)
Perbedaan kekuatan antara perlokusi dan ilokusi tidak selalu jelas. Misalnya, suruhan (request) memiliki kekuatan esensial untuk membuat pendengar melakukan sesuatu. Kesulitan dalam definisi ini muncul dari urutan tindakan yang banyak diabaikan oleh teori tindak tutur. Kesulitan itu juga muncul dari dasar definisi maksud penutur, yang merupakan keadaan psikologis yang tidak bisa diobservasi (lihat Abd. Syukur Ibrahim, 1993: 115).
K. PRINSIP KERJA SAMA
(Cooperative Principle)
Sebelum belajar tentang ‘prinsip kerja sama’, kita perlu belajar tentang ‘asumsi pragmatik’. Kalau orang berbicara kepada orang lain pasti ingin mengemukakan sesuatu. Selanjutnya orang lain diharapkan menangkap apa (hal) yang dikemukakan. Dengan adanya 2 tujuan ini, maka orang akan berbicara sejelas mungkin, tidak berbelit-belit, ringkas, tidak berlebihan, berbicara secara wajar (termasuk volume suara yang wajar).
Hanya saja dalam pragmatik terdapat penyimpangan-penyimpangan, ada maksud-maksud tertentu, tetapi ia harus bertanggung jawab atas penyimpangan itu, sehingga orang lain bisa mengetahui maksudnya. Mereka harus bekerja sama.
Contoh:
kikir : q2r
berdua satu tujuan : ber-217-an
tekate dhewe : TKTDW
kutujukan : ku√49kan
wawan : wa-one
prawan ayu : pra one are you
kian maju : q-an maju
lali main : la5in
dik daniel : dick&niel
kaki lima : kq lima
thank before : thx b4
aku : aq
kamu : u
Di dalam berkomunikasi, antara P dengan MT harus saling menjaga prinsip kerja sama (cooperative principle) agar proses komunikasi berjalan dengan lancar. Tanpa adanya prinsip kerja sama komunikasi akan terganggu. Prinsip kerja sama ini terealisasi dalam berbagai kaidah percakapan. Secara lebih rinci, Grice menjabarkan prinsip kerja sama itu menjadi empat maksim percakapan (periksa Gunarwan, 1993: 11; Lubis, 1993: 73; dan bandingkan pula Wijana, 1996: 46-53). Keempat maksim percakapan itu ialah sebagai berikut.
(2) Performatif eksplisit : Dakjaluk sliramu mindhahke meja iki!
(3) Performatif berpagar : Aku jan-jane arep njaluk tulung sliramu mindhahke meja iki.
(4) Pernyataan keharusan : Sliramu kudu mindhahke meja iki!
(5) Pernyataan keinginan : Aku kepengin meja iki dipindhah.
(6) Rumusan saran : Piye yen meja iki dipindhah?
(7) Persiapan pertanyaan : Kowe bisa mindhah meja iki?
(8) Isyarat kuat : Yen meja iki ana ing kene, kamar iki katon rupek.
(9) Isyarat halus : Kamar iki kok katone sesak ngono ya?
2.3 TT Langsung vs TT Tidak Langsung
Dari sembilan bentuk ujaran tersebut diperoleh sembilan TT yang berbeda-beda derajat kelangsungannya dalam menyampaikan maksud ‘menyuruh memindahkan meja’ itu. Hal ini berkaitan dengan tindak tutur langsung (TT-L) dan tindak tutur tidak langsung (TT-TL). Derajat kelangsungan TT dapat diukur berdasarkan “jarak tempuh” antara titik ilokusi ( di benak P) ke titik tujuan ilokusi (di benak MT). Derajat kelangsungan dapat pula diukur berdasarkan kejelasan pragmatisnya: makin jelas maksud ujaran makin langsunglah ujaran itu, dan sebaliknya. Dari kesembilan bentuk ujaran tersebut, yang paling samar-samar maksudnya ialah bentuk ujaran (9), berupa isyarat halus. Karena kata “meja” sama sekali tidak disebutkan oleh P dalam ujaran (9), maka MT harus mencari-cari konteks yang relevan untuk dapat menangkap maksud P.
Selain TT-L dan TT-TL, P dapat juga menggunakan tindak tutur harafiah (TT-H) atau tindak tutur tidak harafiah (TT-TH) di dalam mengutarakan maksudnya. Jika kedua hal itu, kelangsungan dan keharafiahan ujaran, digabungkan maka akan didapatkan empat macam ujaran, yaitu:
(1) TT-LH : “Buka mulut”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi kepada pasiennya.
(2) TT-LTH : “Tutup mulut”, misalnya diucapkan oleh seseorang yang jengkel kepada MT-nya yang selalu “cerewet”.
(3) TT-TLH : “Bagaimana kalau mulutnya dibuka?”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi kepada pasien yang masih kecil agar anak itu tidak takut.
(4) TT-TLTH : “Untuk menjaga rahasia, lebih baik jika kita semua sepakat menutup mulut kita masing-masing”, misalnya diucapkan oleh P yang mengajak MT-nya untuk tidak membuka rahasia.
Dengan demikian, secara ringkas, berdasarkan uraian dan contoh-contoh di atas dapat dicatat ada delapan TT sebagai berikut (bandingkan Wijana, 1996: 36).
(1) Tindak tutur langsung (TT-L)
(2) Tindak tutur tidak langsung (TT-TL)
(3) Tindak tutur harafiah (TT-H)
(4) Tindak tutur tidak harafiah (TT-TH)
(5) Tindak tutur langsung harafiah (TT-LH)
(6) Tindak tutur tidak langsung harafiah (TT-TLH)
(7) Tindak tutur langsung tidak harafiah (TT-LTH)\
(8) Tindak tutur tidak langsung tidak harafiah (TT-TLTH)
Apabila seseorang menggunakan bahasa, maka ada 3 jenis tindakan atau tindak tutur (selanjutnya disingkat TT), yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Hal ini sejalan dengan pendapat Austin (1962) yang melihat adanya tiga jenis tindak ujar, yaitu tindak lokusi (melakukan tindakan mengatakan sesuatu), tindak ilokusi (melakukan tidakan dalam mengatakan sesuatu), dan tindak perlokusi (melakukan tindakan dengan mengatakan sesuatu). Misalnya:
1. Lokusi n mengatakan kepada t bahwa X.
(merupakan tindak mengatakan sesuatu: menghasilkan serangkaian bunyi yang berarti sesuatu. Ini merupakan aspek bahasa yang merupakan pokok penekanan linguistik tradisional).
2. Ilokusi Dalam mengatakan X, n menegaskan (asserts) bahwa P.
(Dilakukan dengan mengatakan sesuatu, dan mencakup tindak-tindak seperti bertaruh, berjanji, menolak, dan memesan. Sebagian verba yang digunakan untuk melabel tindak ilokusi bisa digunakan secara performatif. Dengan demikian mengatakan Saya menolak bahwa Xsama halnya menolak bahwa X.)
3. Perlokusi Dengan mengatakan X, n meyakinkan (convinces) t bahwa P.
(Menghasilkan efek tertentu pada pendengar. Persuasi merupakan tindak perlokusi: orang tidak dapat mempersuai seseorang tentang sesuatu hanya dengan mengatakan Saya mempersuasi anda. Contoh-contoh yang sesuai adalah meyakinkan, melukai, menakut-nakuti, dan membuat tertawa)
Perbedaan kekuatan antara perlokusi dan ilokusi tidak selalu jelas. Misalnya, suruhan (request) memiliki kekuatan esensial untuk membuat pendengar melakukan sesuatu. Kesulitan dalam definisi ini muncul dari urutan tindakan yang banyak diabaikan oleh teori tindak tutur. Kesulitan itu juga muncul dari dasar definisi maksud penutur, yang merupakan keadaan psikologis yang tidak bisa diobservasi (lihat Abd. Syukur Ibrahim, 1993: 115).
K. PRINSIP KERJA SAMA
(Cooperative Principle)
Sebelum belajar tentang ‘prinsip kerja sama’, kita perlu belajar tentang ‘asumsi pragmatik’. Kalau orang berbicara kepada orang lain pasti ingin mengemukakan sesuatu. Selanjutnya orang lain diharapkan menangkap apa (hal) yang dikemukakan. Dengan adanya 2 tujuan ini, maka orang akan berbicara sejelas mungkin, tidak berbelit-belit, ringkas, tidak berlebihan, berbicara secara wajar (termasuk volume suara yang wajar).
Hanya saja dalam pragmatik terdapat penyimpangan-penyimpangan, ada maksud-maksud tertentu, tetapi ia harus bertanggung jawab atas penyimpangan itu, sehingga orang lain bisa mengetahui maksudnya. Mereka harus bekerja sama.
Contoh:
kikir : q2r
berdua satu tujuan : ber-217-an
tekate dhewe : TKTDW
kutujukan : ku√49kan
wawan : wa-one
prawan ayu : pra one are you
kian maju : q-an maju
lali main : la5in
dik daniel : dick&niel
kaki lima : kq lima
thank before : thx b4
aku : aq
kamu : u
Di dalam berkomunikasi, antara P dengan MT harus saling menjaga prinsip kerja sama (cooperative principle) agar proses komunikasi berjalan dengan lancar. Tanpa adanya prinsip kerja sama komunikasi akan terganggu. Prinsip kerja sama ini terealisasi dalam berbagai kaidah percakapan. Secara lebih rinci, Grice menjabarkan prinsip kerja sama itu menjadi empat maksim percakapan (periksa Gunarwan, 1993: 11; Lubis, 1993: 73; dan bandingkan pula Wijana, 1996: 46-53). Keempat maksim percakapan itu ialah sebagai berikut.
(1) Maksim kuantitas:
a. Berikan informasi Anda secukupnya atau sejumlah yang diperlukan oleh MT.
b. Bicaralah seperlunya saja, jangan mengatakan sesuatu yang tidak perlu.
(2) Maksim kualitas:
a. Katakanlah hal yang sebenarnya.
b. Jangan katakan sesuatu yang Anda tahu bahwa sesuatu itu tidak benar.
c. Jangan katakan sesuatu tanpa bukti yang cukup.
a. Berikan informasi Anda secukupnya atau sejumlah yang diperlukan oleh MT.
b. Bicaralah seperlunya saja, jangan mengatakan sesuatu yang tidak perlu.
(2) Maksim kualitas:
a. Katakanlah hal yang sebenarnya.
b. Jangan katakan sesuatu yang Anda tahu bahwa sesuatu itu tidak benar.
c. Jangan katakan sesuatu tanpa bukti yang cukup.
(3) Maksim relevansi:
a. Katakan yang relevan.
b. Bicaralah sesuai dengan permasalahan.
a. Katakan yang relevan.
b. Bicaralah sesuai dengan permasalahan.
(4) Maksim cara:
a. Katakan dengan jelas.
b. Hindari kekaburanan ujaran.
c. Hindari ketaksaan.
d. Bicaralah secara singkat, tidak bertele-tele.
e. Berkatalah secara sistematis.
Kenyataan membuktikan, di dalam percakapan sehari-hari tidak jarang kita temukan praktik-praktik pelanggaran terhadap maksim-maksim Grice tersebut. Akan tetapi, bagi pengamat pragmatik, justeru pelanggaran-pelanggaran itulah yang menarik untuk dikaji: mengapa P melakukan pelanggaran terhadap maksim tertentu, ada maksud apa di balik pelanggaran maksim tersebut? Misalnya, mengapa P yang bermaksud meminjam uang atau memerlukan bantuan kepada MT biasanya diawali dengan menceritakan secara panjang lebar keadaan dirinya seraya disertai dengan janji-janji? Apakah itu berlaku secara universal? Bukankah tindakan tersebut melanggar maksim kuantitas?
Pada hemat saya, di antara empat maksim itu, maksim ketiga atau maksim relevansilah yang paling penting sebab betapa pun informasi yang kita sampaikan itu cukup serta disampaikan dengan cara yang jelas, sistematis, dan tidak ambigu, kalau informasi itu tidak relevan dengan permasalahan toh tidak akan membawa manfaat. Sejauh mana asumsi ini benar juga masih memerlukan pengkajian secara pragmatis.
L. IMPLIKATUR PERCAKAPAN
Konsep
yang paling penting dalam ilmu pragmatic yang paling menonjolkan pragmatic
sebagai suatu cabang ilmu bahasa adalah implikatur percakapan. Levinson(1983)
melihat kegunaan konsep implikatur terdiri atas empat butir:
Konsep implikatur memungkinkan penjelasan fungsional yang bermakna atas fakta-fakta kebahasaan yang tak terjangkau oleh teori linguistic.
Konsep implikatur memberikan suatu penjelasan yang tegas/implicit tentang bagaimana mungkinnya apa yang diucapkannya secara lahiriah berbeda dari apa yang dimaksud dan bahwa pemakai bahasa itu mnegerti pesan yang dimaksud.
Konsep implikatur ini kelihatannya dapat menyederhanakan pemerian semantic dari perbedaan hubungan antar klausa, walaupun klausa itu dihubungkan dengan kata struktur yang sama.
Konsep
implikatur ialah bahwa hanya beberapa butir saja dasar-dasar implikatur dapat
menerangkan berbagai macam fakta/gejala yang secara lahiriah kelihatan tidak
atau berlawanan.
Grice (1957, juga dalam Steinberg & Jakobovits, 1971) membedakan dua macam makna yang dia sebut natural meaning dan non-natural meaning. Menurut Grice, terdiri atas empat aturan percakapan yang mendasari kerja sama penggunaan bahasa yang efisien yang secara keseluruhan disebut dasar kerja sama. Dasar kerja sama ini terdiri dari empat aturan percakapan, yaitu: kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara. Grice juga menyebutkan adanya aturan lain yang umumnya bersifat sosial, estetis, atau susila/moral.
Implikatur percakapan memilki cirri-ciri sebagai berikut:
• Sesuatu implikatur percakapan dapat dibatalkan dalam hal tertentu.
• Biasanya tidak ada cara lain untuk mengatakan apa yang dikatakan dan masih mempertahankan implikatur yang bersangkutan.
• Implikatur percakapan mempersyaratkan pengetahuan terlebih dahulu akan arti konvensional dari kalimat yang dipakai.
•
Kebenaran dari isi sesuatu implikaturpercakapan bukanlah tergantung pada
kebenaran akan yang dikatakan.
M.
Pragmatik dalam Pengajaran Bahasa
Sebelum
mengkaji lebih jauh, akan dipaparkan suatu pengertian dari pragmatik yang
dikutip dari salah satu ahli bahasa. Levinson berpendapat bahwa pragmatik ialah
kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan
pengertian bahasa (Nababan, 1987 : 3). Dari pendapat tersebut terlihat bahwa
pragmatik merupakan salah satu bidang kajian bahasa yang melibatkan unsur-unsur
di luar bahasa (konteks) di dalam pengkajiannya.
Dalam pragmatik, pengkajian bahasa didasarkan pada penggunaan bahasa bukan pada struktural semata. Konteks-konteks yang melingkupi suatu bahasa akan mendapat perhatian yang besar dalam kaitannya dengan makna yang muncul dari suatu penggunaan bahasa. Kondisi praktis tindak komunikasi menjadi pijakan utama dalam pengkajian pragmatik. Dalam hal ini, wacana-wacana yang berkaitan dengan proses komunikasi akan dikaji.
Dalam pragmatik, pengkajian bahasa didasarkan pada penggunaan bahasa bukan pada struktural semata. Konteks-konteks yang melingkupi suatu bahasa akan mendapat perhatian yang besar dalam kaitannya dengan makna yang muncul dari suatu penggunaan bahasa. Kondisi praktis tindak komunikasi menjadi pijakan utama dalam pengkajian pragmatik. Dalam hal ini, wacana-wacana yang berkaitan dengan proses komunikasi akan dikaji.
Menurut Maidar Arsyad, pragmatik membaca pengkajian bahasa lebih jauh ke dalam keterampilan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi praktis dalam segala situasi yang mendasari interaksi kebahasaan antara manusia sebagai anggota masyarakat (1997 : 3.17). Dari pendapat tersebut terlihat jelas bahwa orientasi pengkajian pragmatik adalah pada suatu komunikasi praktis, di mana pada tataran praktis, muncul berbagai faktor diluar bahasa yang turut memberi makna dalam proses komunikasi tersebut. Adapun Nababan mengemukakan beberapa faktor penentu dalam berkomunikasi:
siapa yang berbahasa dengan siapa; untuk tujuan apa; dalam situasiap a
(tempat dan waktu); dalamkontek s apa (peserta lain, kebudayaan dan suasana); denganjalur apa (lisan atau tulisan);media apa (tatap muka, telepon, surat, dan sebagainya); dalampe risti wa apa (bercakap-cakap, ceramah, upacara, laporan, dan sebagainya) (1987 : 70)
Dari
pendapat tersebut didapat beberapa faktor yang mungkin sekali mempengaruhi
proses tindak komunikasi yaitu pelaku, tujuan, situasi, konteks, jalur, media,
dan peristiwa. Senada dengan Nababan, Suyono juga mengemukakan tiga konsep
dasar dalam komunikasi. Suyono mengemukakan tiga konsep dasar dalam penggunaan
bahasa (studi pragmatik) yaitu tindak komunikatif, peristiwa komunikatif dan
situasi komunikatif (1990 : 18). Melihat dua pendapat tersebut sebenarnya tidak
jauh berbeda, hanya saja Suyono lebih meringkas lagi faktor-faktor penentu
tersebut dalam tiga konsep dasar.
Dengan berpijak pada beberapa hal di atas, jelaslah bahwa pragmatik akan sangat membantu dalam pengajaran bahasa (khususnya di sekolah). Pengajaran bahasa yang berorientasi pada kajian bahasa secara “struktural” jelas akan menimbulkan banyak kendala ketika tidak dikaitkan dengan penggunaan bahasa secara praktis di lapangan. Dalam kegiatan berbahasa seseorang dituntut untuk mencapai kualitas yang bersifat pragmatis. … Dengan bentuknya yang pragmatis diharapkan siswa dapat menggunakan bahasa sasaran sesuai konteks yang melatari kegiatan bahasa nyata (Nurhadi, 1995 : 146). Dari pendapat tersebut komunikasi yang terjadi diorientasikan pada pencapaian kualitas yang bersifat pragmatis, sehingga pengguna (dalam hal ini siswa) dapat menggunakan bahasa sesuai dengan konteksnya.
Pembelajaran
bahasa sudah semestinya mampu mengakomodasi kebutuhan berbahasa secara praktis
sesuai dengan kondisi yang nyata. Dengan pola yang berdasar pada kajian
pragmatik, proses pembelajaran bahasa yang diterima oleh siswa secara otomatis
akan mengacu pada suatu kondisi praktis tindak komunikasi. Orientasi
pembelajaran yang seperti ini juga akan menuntut penyesuaian pada berbagai
aspek pembelajaran, dari kurikulum sampai tataran praktis pembelajaran. Seperti
dikemukakan oleh Maidar Arsyad bahwa dalam pengajaran berbahasa, pembuat
kurikulum, atau program pembelajaran harus memikirkan bahan tentang berbagai
ragam bahasa dan melatihkannya sesuai dengan situasi dan konteks pemakaiannya
(1997 : 3.17). Ada tiga hal penting dari pendapat tersebut yaitu program
belajar, ragam bahasa, dan pelatihan sesuai situasi dan konteks.
Tiga hal tersebut memang sangat penting ketika suatu pembelajaran bahasa sudah berorientasi pada penggunaan bahasa pada tataran praktis. Dari program, materi (bahan), ragam bahasa, dan menciptakan suatu situasi dan konteks yang sesuai jelas tidak dapat dihindarkan ketika target akhir dari pembelajaran bahasa adalah“siswa mampu berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis” (BSNP, 2006).
Ada juga pendapat lain yang lebih jauh merambah aspek lain di luar
bahasa. Eny (2004), berpendapat:
Pengajaran bahasa Indonesia seharusnya berdasarkan pada dimensi kultural karena dalam pembelajaran itu diungkapkan gagasan mengenai masalah yang berkaitan dengan ilmu, teknologi dan atau budaya yang sedang dipelajarinya. Pengajaran itu difokuskan pada kemahiran menggunakan bahasa yang benar, jelas, efektif, dan sesuai dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi.
Dari pendapat tersebut, Eny mencoba melibatkan dimensi kultural karena berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan yang lain. Memang suatu bahasa pada akhirnya akan bersinggungan dengan berbagai aspek yang lain ketika manusia dalam menuangkan gagasan apapun akan menggunakan suatu bahasa. Jadi akan sangat berterima jika suatu pembelajaran bahasa harus berdasar pada kondisi praktis.
Berangkat dari berbagai paparan di atas, dapat kita tarik suatu simpulan bahwa pembelajaran bahasa yang diorientasikan pada tataran praktis tindak komunikasi akan sangat diperlukan bagi peserta didik. Dalam hal ini, pendekatan komunikatif (lebih spesifik pragmatik) sangat membantu dalam mengarahkan proses pembelajaran bahasa yang dilakukan, terutama pada tataran pendidikan formal atau sekolah
1. Pragmatik Sebagai Cabang Ilmu Bahasa
Menurut
sejarahnya pragmatik dari kata Yunani pragma yang berarti tindakna sebagia ilmu
pertama-tama muncul di dalam dunia filsafat. Filsafat pragmatisme adalah
pemikiran tentang bagaimana manusia harus bertindak (Keraf, 1987). Pemikiran
ini bersifat praktis, atau berkaitan dengan pengalaman hidup manusia
sehari-hari. Filsafat yang memiliki nilai praktis ini mempengaruhi pemikiran
tentang bahasa pula.
Dengan demikian
pragmatik sebagai ilmu merupakan cabang linguistik yang bidang kajiannya bukan
bunyi dan bentuk bahasa, bukan pula makna bahasa, melainkan fungsi bahasa.
Kajian makna secara semantis memusatkan perhatiannya pada kajian makna kalimat
(termasuk makna kata atau klausa) secara abstrak atau kalimat yang
bebas-konteks, sedangkan kajian makna secara pragmatis memusatkan perhatiannya
pada kajian makna kalimat atau konteks. Kalimat dalam konteks inilah yang
disebut tuturan atau ujaran.
Hymes (1972) diakronimkan SPEAKING (setting dan scene; participans; ends; purpose dan goal; act sequences; keys; tone or spirit of act; instrumentalities, norms; norms of interactions dan interpretation; dan genres). Konteks berisi unsur pembicara melakukan komunikasi kepada mitra bicara dalam situasi, tempat, dan waktu tertentu, tentang sesuatu (topik) yang tertentu, dengan tujuan dan efek tertentu, dan cara atau jalur tertentu, dengan norma atau kaidah komunikasi tertentu dan dengan ragam bahasa tertentu.
Bambang Kaswanti Purwo (1990) membedakan bahan kajian menjadi dua :
1. Bahan kajian linguistik
2. Bahan pengajaran bahasa
Sebagai bahan kajian linguistik pragmatik mengkaji :
1. deiksis
2. praanggapan atau praduga (presupposition)
3. tindak ujaran atau tindak tutur (speech acts)
4. implikatur percakapan (convensational implicature) (1990 : 17)
Bahan kajian (1) mengacu bahan kajian yang berupa kata-kata yang rujukannya atua referennya berpindah-pindah (Purwo, 1984, 1990).
Nababan (1987; bandingkan dengan Purwo 91984) membedakan adanya lima jenis deiksis; deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana dan deiksis sosial.
Bahan kajian (2) mengkaji konsep dugaan atau anggapan sebelumnya yang ada pada benak penutur pada waktu berbicara.
Bahan kajian (3) menkaji suatu kenyataan berbahasa bahwa pada waktu setiap penutur mengatakan suatu kalimat, sebenarnya ia tidak hanya mengucapkan, melainkan bersamaan dengan pengucapan itu ia melakukan (menindakkan) sesuatu.
Nababan (1987) membedakan adanya tiga macam tindak bahasa : lokusi, ilokusi dan perlokusi.
Dalam kaitan dengan konsep implikatur ini Grice 91957) membuat teori tentang bagaimana orang menggunakan bahasa supaya terajdi suatu komunikasi yang baik. Dikatakan bahwa di dalam menggunakan bahasa seseorang harus mengindahkan prinsip kerja sama (cooperative principles) dan prinsip kesopanan (politeness principles). Prinsip kerjasama berisi empat aturan (maksim) yang menyangkut aspek kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara. Maksim kuantitas menyarankan untuk hanya menggunakan sejumlah kata secukupnya, maksim kualitas menyarankan untuk hanya mengatakan yang sebenarnya, maksim relevansi menyarankan untuk hanya mengatakan yang relevan, dan maksim cara menyarankan untuk mengatakan secara jelas.
Prinsip kesopanan berisi enam aturan (maksim) kebijaksanaan, kedermawanan, penghargaan, kesederhanaan, permufakatan dan simpati. Maksim kebijaksanaan menyarankan untuk tidak merugikan mitra bicara, maksim kedermawanan menyarankan untuk tidak mengorbankan mitra bicara, maksim penghargaan menyarankan untuk memberikan pujian kepada mitra bicara, maksim kesederhanaan menyarankan untuk mengurangi cacian kepada mitra bicara, maksim permufakatan menyarankan untuk mengurangi ketidaksesuaian dengan mitra baca.
2. Pragmatik sebagai Bahan Pengajaran Bahasa
Dengan mengambil pembagian Haliday (1973), Nababan (lihat juga tarigan, 1986) menyebutkan adanya tujuh fungsi bahasa bagi perseorangan, masing-masing instrumental, menyuruh, interaksi, kepribadian, khayalan, pemecahan masalah dna informatif.
Bahan pengajaran pragmatik di dalam kurikulum 1984 mencoba menjabarkan semuanya itu ke dalam enam aspek bahan pengajaran : sosial, intelektual, emosional, infomasi faktual, moral dan penyelesaian masalah.
Aspek sosial berkaitan dengan aturan hubungan antar sesama, norma masyarakat baik yang bersifat yuridis formal maupun yang bersifat konvensional. Aspek intelektual adalah aspek psikis manusia yang berkaitan dengan pikiran, budi yang bersifat diskursif : bersifat objektif, bukan subjektif memahami sesuatu dengan cara mengambil jarak. Aspek emosional merupakan aspek psikis yang berkaitan dengan perasaan atau kepekaan intuitif. Aspek informasi formla berkaitan dengan hubungan antar sesamanya. Aspek moral ada hubungannya dengan unsur internal, horisontal dan vertikal. Aspek penyelesaian masalah berkaitan dengan aspek internal dan eksternal manusia, khususnya yang horisontal.
3. Pragmatik Sebagai Suatu Pendekatan Pengajaran Bahasa
Konsep pendekatan adalah konsep yang berisi asumsi-asumsi atau aksioma-aksioma tentang sesuatu (Antony, 1963). Pendekatan dalam pengajaran bahasa mengacu pada asumsi atau aksioma tentang apa itu bahasa dan apa atau bagaimana belajar bahasa diyakini berlangsung.
Ciri-ciri Pendekatan Pragmatik
Pandangan pragmatik tentang bahasa mengacu pada pnegertian bahwa bahasa :
1. Merupakan suatu totalitas, bukan kumpulan komponen-komponen.
2. Merupakan alat yang dipergunakan oleh manusia untuk melangsungkan hidupnya bersama dengan orang lain.
Krashen (1977) di dalam penelitiannya tentang perilaku anak yang belajar bahasa pertama menemukan bahwa bahan bahasa yang berupa intake (necessary input) adalha bahan yang paling efektif dan bahan itu diperoleh di dalam lingkungannya yang informal.
Implikasi Pendekatan Pragmatik dalam Pengajaran Bahasa
Pertama, di dalam pengajaran dengan pendekatan pragmatik tujuan pengajaran yang harus dicapai adalah dimilikinya kemampuan komunikatif (use of linguistic elements).
Kedua, pengajaran yang berupa satuan-satuan lingual itu harus disajikan di dalam suatu konteks komunikasi yang riil, bukan dibuat-buat.
Ketiga, karena di dalam konteks komunikasi yang riil satuan-satuan lingual itu tidak tersaji secara sistematis, maka tekanan penyajian perlu diprioritaskan pada kadar keseringan kemunculan satuan-satuan lingual di dalam suatu konteks diisyaratkan bahwa penekanan penyajian pada urutan-urutan satuan lingual berdasarkan temuan linguistik menjadi kurang penting.
N. Pendekatan Pragmatik Dalam Pengajaran Bahasa
Analisis keadaan pengajaran bahasa Indonesia menunjukkan adanya kesenjangan antara tujuan pengajaran dan bahan pengajaran. Tujuan pengajaran dalam kurikulum 1975, ialah “keterampilan berbahasa Indonesia”. Pada permulaan dasawarsa 10970-an berkembang suatu pemikiran yang timbul dari kurang puasnya orang dengan hasil pengajaran bahasa secara structural, yang membuat orang sanggup membuat bentuk-bentuk bahasa menurut pola-pola yang dilatihkan tetapi belum tentu dapat menggunakannya. Satu gagasan yang timbul adalah yang disebut pendekatan kognitif yang menekankan keterampilan mengerti dan menggunakan aturan-aturan pembentukan kalimat-kalimat yang bermakna.
Dalam pembicaraan di atas, kita memakai istilah pragmatic secra lebih luas lagi untuk “aturan pemakaian bahasanya sehubungan dengan maksud pembicara sesuai dengan konteks dan keadaan”. Bahasa mempunyai bentuk-bentuk yang sesuai konteks dan keadaan. Bentuk-bentuk yang berbeda itu disebut ragam bahasa. Ada empat macam variasi bahasa bergantung pada factor yang berhubungan atau sejalan dengan ragam itu. Keempat factor itu adalah;
Hymes (1972) diakronimkan SPEAKING (setting dan scene; participans; ends; purpose dan goal; act sequences; keys; tone or spirit of act; instrumentalities, norms; norms of interactions dan interpretation; dan genres). Konteks berisi unsur pembicara melakukan komunikasi kepada mitra bicara dalam situasi, tempat, dan waktu tertentu, tentang sesuatu (topik) yang tertentu, dengan tujuan dan efek tertentu, dan cara atau jalur tertentu, dengan norma atau kaidah komunikasi tertentu dan dengan ragam bahasa tertentu.
Bambang Kaswanti Purwo (1990) membedakan bahan kajian menjadi dua :
1. Bahan kajian linguistik
2. Bahan pengajaran bahasa
Sebagai bahan kajian linguistik pragmatik mengkaji :
1. deiksis
2. praanggapan atau praduga (presupposition)
3. tindak ujaran atau tindak tutur (speech acts)
4. implikatur percakapan (convensational implicature) (1990 : 17)
Bahan kajian (1) mengacu bahan kajian yang berupa kata-kata yang rujukannya atua referennya berpindah-pindah (Purwo, 1984, 1990).
Nababan (1987; bandingkan dengan Purwo 91984) membedakan adanya lima jenis deiksis; deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana dan deiksis sosial.
Bahan kajian (2) mengkaji konsep dugaan atau anggapan sebelumnya yang ada pada benak penutur pada waktu berbicara.
Bahan kajian (3) menkaji suatu kenyataan berbahasa bahwa pada waktu setiap penutur mengatakan suatu kalimat, sebenarnya ia tidak hanya mengucapkan, melainkan bersamaan dengan pengucapan itu ia melakukan (menindakkan) sesuatu.
Nababan (1987) membedakan adanya tiga macam tindak bahasa : lokusi, ilokusi dan perlokusi.
Dalam kaitan dengan konsep implikatur ini Grice 91957) membuat teori tentang bagaimana orang menggunakan bahasa supaya terajdi suatu komunikasi yang baik. Dikatakan bahwa di dalam menggunakan bahasa seseorang harus mengindahkan prinsip kerja sama (cooperative principles) dan prinsip kesopanan (politeness principles). Prinsip kerjasama berisi empat aturan (maksim) yang menyangkut aspek kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara. Maksim kuantitas menyarankan untuk hanya menggunakan sejumlah kata secukupnya, maksim kualitas menyarankan untuk hanya mengatakan yang sebenarnya, maksim relevansi menyarankan untuk hanya mengatakan yang relevan, dan maksim cara menyarankan untuk mengatakan secara jelas.
Prinsip kesopanan berisi enam aturan (maksim) kebijaksanaan, kedermawanan, penghargaan, kesederhanaan, permufakatan dan simpati. Maksim kebijaksanaan menyarankan untuk tidak merugikan mitra bicara, maksim kedermawanan menyarankan untuk tidak mengorbankan mitra bicara, maksim penghargaan menyarankan untuk memberikan pujian kepada mitra bicara, maksim kesederhanaan menyarankan untuk mengurangi cacian kepada mitra bicara, maksim permufakatan menyarankan untuk mengurangi ketidaksesuaian dengan mitra baca.
2. Pragmatik sebagai Bahan Pengajaran Bahasa
Dengan mengambil pembagian Haliday (1973), Nababan (lihat juga tarigan, 1986) menyebutkan adanya tujuh fungsi bahasa bagi perseorangan, masing-masing instrumental, menyuruh, interaksi, kepribadian, khayalan, pemecahan masalah dna informatif.
Bahan pengajaran pragmatik di dalam kurikulum 1984 mencoba menjabarkan semuanya itu ke dalam enam aspek bahan pengajaran : sosial, intelektual, emosional, infomasi faktual, moral dan penyelesaian masalah.
Aspek sosial berkaitan dengan aturan hubungan antar sesama, norma masyarakat baik yang bersifat yuridis formal maupun yang bersifat konvensional. Aspek intelektual adalah aspek psikis manusia yang berkaitan dengan pikiran, budi yang bersifat diskursif : bersifat objektif, bukan subjektif memahami sesuatu dengan cara mengambil jarak. Aspek emosional merupakan aspek psikis yang berkaitan dengan perasaan atau kepekaan intuitif. Aspek informasi formla berkaitan dengan hubungan antar sesamanya. Aspek moral ada hubungannya dengan unsur internal, horisontal dan vertikal. Aspek penyelesaian masalah berkaitan dengan aspek internal dan eksternal manusia, khususnya yang horisontal.
3. Pragmatik Sebagai Suatu Pendekatan Pengajaran Bahasa
Konsep pendekatan adalah konsep yang berisi asumsi-asumsi atau aksioma-aksioma tentang sesuatu (Antony, 1963). Pendekatan dalam pengajaran bahasa mengacu pada asumsi atau aksioma tentang apa itu bahasa dan apa atau bagaimana belajar bahasa diyakini berlangsung.
Ciri-ciri Pendekatan Pragmatik
Pandangan pragmatik tentang bahasa mengacu pada pnegertian bahwa bahasa :
1. Merupakan suatu totalitas, bukan kumpulan komponen-komponen.
2. Merupakan alat yang dipergunakan oleh manusia untuk melangsungkan hidupnya bersama dengan orang lain.
Krashen (1977) di dalam penelitiannya tentang perilaku anak yang belajar bahasa pertama menemukan bahwa bahan bahasa yang berupa intake (necessary input) adalha bahan yang paling efektif dan bahan itu diperoleh di dalam lingkungannya yang informal.
Implikasi Pendekatan Pragmatik dalam Pengajaran Bahasa
Pertama, di dalam pengajaran dengan pendekatan pragmatik tujuan pengajaran yang harus dicapai adalah dimilikinya kemampuan komunikatif (use of linguistic elements).
Kedua, pengajaran yang berupa satuan-satuan lingual itu harus disajikan di dalam suatu konteks komunikasi yang riil, bukan dibuat-buat.
Ketiga, karena di dalam konteks komunikasi yang riil satuan-satuan lingual itu tidak tersaji secara sistematis, maka tekanan penyajian perlu diprioritaskan pada kadar keseringan kemunculan satuan-satuan lingual di dalam suatu konteks diisyaratkan bahwa penekanan penyajian pada urutan-urutan satuan lingual berdasarkan temuan linguistik menjadi kurang penting.
N. Pendekatan Pragmatik Dalam Pengajaran Bahasa
Analisis keadaan pengajaran bahasa Indonesia menunjukkan adanya kesenjangan antara tujuan pengajaran dan bahan pengajaran. Tujuan pengajaran dalam kurikulum 1975, ialah “keterampilan berbahasa Indonesia”. Pada permulaan dasawarsa 10970-an berkembang suatu pemikiran yang timbul dari kurang puasnya orang dengan hasil pengajaran bahasa secara structural, yang membuat orang sanggup membuat bentuk-bentuk bahasa menurut pola-pola yang dilatihkan tetapi belum tentu dapat menggunakannya. Satu gagasan yang timbul adalah yang disebut pendekatan kognitif yang menekankan keterampilan mengerti dan menggunakan aturan-aturan pembentukan kalimat-kalimat yang bermakna.
Dalam pembicaraan di atas, kita memakai istilah pragmatic secra lebih luas lagi untuk “aturan pemakaian bahasanya sehubungan dengan maksud pembicara sesuai dengan konteks dan keadaan”. Bahasa mempunyai bentuk-bentuk yang sesuai konteks dan keadaan. Bentuk-bentuk yang berbeda itu disebut ragam bahasa. Ada empat macam variasi bahasa bergantung pada factor yang berhubungan atau sejalan dengan ragam itu. Keempat factor itu adalah;
1. Factor geografis
2. Factor-faktor kemasyrakatan
3. Factor-faktor situasi berbahasa
4. Factor-faktor waktu
Orientasi belajar mengajar bahasa berdasarkan tugas dan fungsi berkomunikasi ini disebut pendekatan komunikatif. Dalam pendekatan ini, bentuk bahasa yang dipakai selalu dikaitkan dengan factor-faktor penentu di atas. Ilmu yang mempelajari hubungan bahasa dengan factor-faktor penentu itu disebut ilmu pragmatic.unsur-unsur bahasa meliputi lafal/ejaan, struktur, dan kosa kata, sedangkan kegiatan berbahasa meliputi membaca, menulis/mengarang, berbicara, dan pragmatic.
Keterampilan pragmatic dipelajari melalui dua jalur, yaitu jalur formal, dan non-formal.dalam belajar bahasa asing, keterampilan pragmatic ini dapat dipelajari hanya melalui cara formal oleh karena para pelajar tidak mempunyai kesempatan untuk memperolehnya secara informal. Diperlukan juga bahan-bahan pengajaran yang berorientasi keterampilan pragmatic, artinya materi pembelajaran yang melibatkan konteks dan situasi dalam pengembangannya dan penyajiannya. Pendekatan pragmatic yang diterapkan dalam pengajaran bahasa asin bergantung pada tujuan pembelajaran yang mencakup keterampilan menggunakan bahasa asing itu, tulisan dan/atau lisan. Tujuan pembelajaran ditentukan oleh sekolah. Tujuan pembelajaran dapat ditentukan dengan berbagai cara/factor, yaitu: kemauan dan pemikiran yang mempunyai sekolah, hasil suatu analisi kebutuhan, keinginan pelajar, dan lain-lain.
O. Pragmatik Dan Aspek-Aspeknya Dalam Pengajaran Bahasa Indonesia
Ketrampilan Bahasa Indonesia yang masih rendah atau belum sesuai dengan yang diharapkan memang sering dijumpai, baik dengan melihat secara sepintas maupun melalui penelitian-penelitian. Mendikbud Wardiman Djoyonegoro mengatakan bahwa kemampuan atau budaya baca bangsa Indonesia masih rendah (Kompas, 30 mei 1995). Mendikbud mengatakan pula bahwa berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik, sekitar 27 juta penduduk Indonesia belum memahami bahasa Indonesia (Kompas, 30 Maret 1995). Adanya kondisi seperti tersebut di atas tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh kekurangberhasilan pengajaran Bahasa Indonesia.
1. Pendekatan Pragmatik atau Komunikatif?
Menurut Morris dalam Gazdar 91979 : 85) bahwa pragmatik merupakan salah satu bagian dari telaah isyarat-isyarat atau tanda-tanda bahasa. Menurutnya dikatakan bahwa isyarat-isyarat bahasa, dalam pengkajiannya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
1. sintaktik
2. semantik
3. pragmatik.
Menurut Nababan (1987 : 2) yang dimaksud dengan Pragmatik ialah aturan-aturan pemakaian bahasa, yaitu pemilihan bentuk bahasa dan penentuan maknanya sehubungan dengan maksud pembicara sesuai dengan konteks dan keadaanya.
Menurut Leech (1983), yang dimaksud dengan pragmatik adalah suatu kajian bahasa yang berusaha menemukan makna-makna ujaran yang disesuaikan dengan situasi. Sedangkan menurut International Pragmatics Association (IPRA) yang dimaksud dengan pragmatik ialah penyelidikan bahasa yang menyangkut seluk belum penggunaan bahasa dan fungsinya (dalam Soemarmo, 1987 : 3).
2. Hakikat Aspek-aspek Pragmatik Bahasa Indonesia
GBPP Bahasa dan Sastra Indonesia, baik pada Kurikulum 1984 maupun pada Kurikulum 1994, dinyatakan bahwa aspek-aspek pragmatik digunakan untuk bermacam-macam fungsi sesuai dengan apa yang ingin disampaikan oleh penutur, yang meliputi :Untuk menyatakan informasi faktual (mengidentifikasi, melaporkan, menanyakan, mengoreksi);
1. Untuk menyatakan informasi faktual (mengidentifikasi, melaporkan, menanyakan, mengoreksi);
2. Menyatakan sikap intelektual (menyatakan setuju atau tidak setuju, menyanggah dan sebagainya);
3. Menyatakan sikap emosional (senang, tak senang, harapan, kepuasan dan sebagainya;
4. Menyatakan sikap moral (meminta maaf, menyatakan penyesalan, penghargaan dan sebagainya);
5. Menyatakan perintah (mengajak, mengundang, memperingatkan dan sebagainya);
6. Untuk bersosialisasi (menyapa, memperkenalkan diri, menyampaikan selamat, meminta perhatian dan sebagainya), GBPP Kurikulum 1994 : 19).
Oleh karena dewasa ini yang digunakan GBPP Bahasa dan Sastra Indonesia Kurikulum 1994, uraian selanjutnya lebih dititikberatkan pada GBPP tersebut, yaitu diantaranya seperti di bawah ini :
a. Fungsi bahasa untuk menyatakna informasi faktual
b. Fungsi bahasa untuk menyatakan sikap intelektual
c. Fungsi bahasa untuk menyatakan sikap emosional
d. Fungsi bahasa untuk menyatakan sikap moral
e. Fungsi bahasa untuk menyatakan perintah
f. Fungsi bahasa untuk menyatakan bersosialiasi
Dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi bahasa tadi, Halliday (1973) membaginya menjadi :
1. Fungsi instrumental
2. Fungsi regulais
3. Fungsi representasional
4. Fungsi interaksional
5. Fungsi personal
6. Fungsi heuristik
7. Fungsi imajinatif.
Popper (dalam Leech, 1983 : 49) mengelompokkan fungsi bahasa menjadi :
1. Fungsi ekspresif
2. Fungsi informatif
3. Fungsi deskriptif
4. Fungsi argumentatif.
Nababan (1987 : 13) yang mendasarkan diri dari pandangan Martin Joos mengenai ragam fungsiolek, membagi fungsi Bahasa Indonesia berdasarkan gaya bahasa (style) menjadi :
1. ragam beku
2. ragam resmi
3. ragam usaha
4. ragam santai
5. ragam akrab
Pengajaran Aspek-aspek Pragmatik Bahasa Indonesia
Aspek-aspek pragmatik diantaranya sebagai berikut :
1. Aspek sosialisasi
2. Aspek intelektual
3. Aspek menyelenggarakan sesuatu atau aspek perintah
Ditinjau dari penyajian aspek-aspek pragmatik yang terdapat di dalamnya, ternyata buku-buku yang berlandaskan pada GBPP Kurikulum 1994 lebih bersifat atau sesuai dengan pendekatan prgamatik komunikatif dibandingkan dengan buku-buku yang disusun berdasarkan GBPP Kurikulum 1994
2. Factor-faktor kemasyrakatan
3. Factor-faktor situasi berbahasa
4. Factor-faktor waktu
Orientasi belajar mengajar bahasa berdasarkan tugas dan fungsi berkomunikasi ini disebut pendekatan komunikatif. Dalam pendekatan ini, bentuk bahasa yang dipakai selalu dikaitkan dengan factor-faktor penentu di atas. Ilmu yang mempelajari hubungan bahasa dengan factor-faktor penentu itu disebut ilmu pragmatic.unsur-unsur bahasa meliputi lafal/ejaan, struktur, dan kosa kata, sedangkan kegiatan berbahasa meliputi membaca, menulis/mengarang, berbicara, dan pragmatic.
Keterampilan pragmatic dipelajari melalui dua jalur, yaitu jalur formal, dan non-formal.dalam belajar bahasa asing, keterampilan pragmatic ini dapat dipelajari hanya melalui cara formal oleh karena para pelajar tidak mempunyai kesempatan untuk memperolehnya secara informal. Diperlukan juga bahan-bahan pengajaran yang berorientasi keterampilan pragmatic, artinya materi pembelajaran yang melibatkan konteks dan situasi dalam pengembangannya dan penyajiannya. Pendekatan pragmatic yang diterapkan dalam pengajaran bahasa asin bergantung pada tujuan pembelajaran yang mencakup keterampilan menggunakan bahasa asing itu, tulisan dan/atau lisan. Tujuan pembelajaran ditentukan oleh sekolah. Tujuan pembelajaran dapat ditentukan dengan berbagai cara/factor, yaitu: kemauan dan pemikiran yang mempunyai sekolah, hasil suatu analisi kebutuhan, keinginan pelajar, dan lain-lain.
O. Pragmatik Dan Aspek-Aspeknya Dalam Pengajaran Bahasa Indonesia
Ketrampilan Bahasa Indonesia yang masih rendah atau belum sesuai dengan yang diharapkan memang sering dijumpai, baik dengan melihat secara sepintas maupun melalui penelitian-penelitian. Mendikbud Wardiman Djoyonegoro mengatakan bahwa kemampuan atau budaya baca bangsa Indonesia masih rendah (Kompas, 30 mei 1995). Mendikbud mengatakan pula bahwa berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik, sekitar 27 juta penduduk Indonesia belum memahami bahasa Indonesia (Kompas, 30 Maret 1995). Adanya kondisi seperti tersebut di atas tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh kekurangberhasilan pengajaran Bahasa Indonesia.
1. Pendekatan Pragmatik atau Komunikatif?
Menurut Morris dalam Gazdar 91979 : 85) bahwa pragmatik merupakan salah satu bagian dari telaah isyarat-isyarat atau tanda-tanda bahasa. Menurutnya dikatakan bahwa isyarat-isyarat bahasa, dalam pengkajiannya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
1. sintaktik
2. semantik
3. pragmatik.
Menurut Nababan (1987 : 2) yang dimaksud dengan Pragmatik ialah aturan-aturan pemakaian bahasa, yaitu pemilihan bentuk bahasa dan penentuan maknanya sehubungan dengan maksud pembicara sesuai dengan konteks dan keadaanya.
Menurut Leech (1983), yang dimaksud dengan pragmatik adalah suatu kajian bahasa yang berusaha menemukan makna-makna ujaran yang disesuaikan dengan situasi. Sedangkan menurut International Pragmatics Association (IPRA) yang dimaksud dengan pragmatik ialah penyelidikan bahasa yang menyangkut seluk belum penggunaan bahasa dan fungsinya (dalam Soemarmo, 1987 : 3).
2. Hakikat Aspek-aspek Pragmatik Bahasa Indonesia
GBPP Bahasa dan Sastra Indonesia, baik pada Kurikulum 1984 maupun pada Kurikulum 1994, dinyatakan bahwa aspek-aspek pragmatik digunakan untuk bermacam-macam fungsi sesuai dengan apa yang ingin disampaikan oleh penutur, yang meliputi :Untuk menyatakan informasi faktual (mengidentifikasi, melaporkan, menanyakan, mengoreksi);
1. Untuk menyatakan informasi faktual (mengidentifikasi, melaporkan, menanyakan, mengoreksi);
2. Menyatakan sikap intelektual (menyatakan setuju atau tidak setuju, menyanggah dan sebagainya);
3. Menyatakan sikap emosional (senang, tak senang, harapan, kepuasan dan sebagainya;
4. Menyatakan sikap moral (meminta maaf, menyatakan penyesalan, penghargaan dan sebagainya);
5. Menyatakan perintah (mengajak, mengundang, memperingatkan dan sebagainya);
6. Untuk bersosialisasi (menyapa, memperkenalkan diri, menyampaikan selamat, meminta perhatian dan sebagainya), GBPP Kurikulum 1994 : 19).
Oleh karena dewasa ini yang digunakan GBPP Bahasa dan Sastra Indonesia Kurikulum 1994, uraian selanjutnya lebih dititikberatkan pada GBPP tersebut, yaitu diantaranya seperti di bawah ini :
a. Fungsi bahasa untuk menyatakna informasi faktual
b. Fungsi bahasa untuk menyatakan sikap intelektual
c. Fungsi bahasa untuk menyatakan sikap emosional
d. Fungsi bahasa untuk menyatakan sikap moral
e. Fungsi bahasa untuk menyatakan perintah
f. Fungsi bahasa untuk menyatakan bersosialiasi
Dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi bahasa tadi, Halliday (1973) membaginya menjadi :
1. Fungsi instrumental
2. Fungsi regulais
3. Fungsi representasional
4. Fungsi interaksional
5. Fungsi personal
6. Fungsi heuristik
7. Fungsi imajinatif.
Popper (dalam Leech, 1983 : 49) mengelompokkan fungsi bahasa menjadi :
1. Fungsi ekspresif
2. Fungsi informatif
3. Fungsi deskriptif
4. Fungsi argumentatif.
Nababan (1987 : 13) yang mendasarkan diri dari pandangan Martin Joos mengenai ragam fungsiolek, membagi fungsi Bahasa Indonesia berdasarkan gaya bahasa (style) menjadi :
1. ragam beku
2. ragam resmi
3. ragam usaha
4. ragam santai
5. ragam akrab
Pengajaran Aspek-aspek Pragmatik Bahasa Indonesia
Aspek-aspek pragmatik diantaranya sebagai berikut :
1. Aspek sosialisasi
2. Aspek intelektual
3. Aspek menyelenggarakan sesuatu atau aspek perintah
Ditinjau dari penyajian aspek-aspek pragmatik yang terdapat di dalamnya, ternyata buku-buku yang berlandaskan pada GBPP Kurikulum 1994 lebih bersifat atau sesuai dengan pendekatan prgamatik komunikatif dibandingkan dengan buku-buku yang disusun berdasarkan GBPP Kurikulum 1994
P. TINDAK
TUTUR
Tindak
tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji
bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Leech (1983:5-6) menyatakan bahwa
pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan);
menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan
mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, bilamana,
bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam
pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini
seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan
prinsip kesantunan.
Di dalam bukunya How to Do Things with Words, Austin (1962:1-11) membedakan tuturan yang kalimatnya bermodus deklaratif menjadi dua yaitu konstatif dan performatif. Tindak tutur konstatif adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat diuji –benar atau salah—dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia. Sedangkan tindak tutur performatif adalah tindak tutur yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan sesuatu, pemakai bahasa tidak dapat mengatakan bahwa tuturan itu salah atau benar, tetapi sahih atau tidak. Berkenaan dengan tuturan, Austin membedakan tiga jenis tindakan: (1) tindak tutur lokusi, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna di dalam kamus dan menurut kaidah sintaksisnya. (2) tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang mengandung maksud; berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak tutur itu dilakukan,dsb. (3) tindak tutur perlokusi, yaitu tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur.
Pencetus teori tindak tutur, Searle (1975:59-82) membagi tindak tutur menjadi lima kategori:
1. Representative/asertif, yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkan
2. Direktif/impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu
3. Ekspresif/evaluatif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu.
4. Komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya
5. Deklarasi/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dsb) yang baru.
Tindak tutur juga dibedakan menjadi dua yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Penggunaan tuturan secara konvensional menandai kelangsungan suatu tindak tutur langsung. Tuturan deklaratif, tuturan interogatif, dan tuturan imperatif secara konvensional dituturkan untuk menyatakan suatu informasi, menanyakan sesuatu, dan memerintahkan mitra tutur melakukan sesuatu. Kesesuaian antara modus dan fungsinya secara konvensional inilah yang yang merupakan tindak tutur langsung. Sebaliknya, jika tututan deklaratif digunakan untuk bertanya atau memerintah –atau tuturan yang bermodus lain yang digunakan secara tidak konvensional--, tuturan itu merupakan tindak tutur tidak langsung. Sehubungan dengan kelangsungan dan ketaklangsungan tuturan, tindak tutur juga dibedakan menjadi tindak tutur harfiah (maksud sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya) dan tidak harfiah (maksud tidak sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya). Jika dua jenis tindak tutur, langsung dan taklangsung, digabung dengan dua jenis tindak tutur lain, harfiah dan takharfiah, diperoleh empat macam tindak tutur interseksi, yaitu (1) tindak tutur langsung harfiah, (2) tindak tutur langsung takharfiah, (3) tindak tutur taklangsung harfiah, (4) tindak tutur taklangsung takharfiah.
Di tinjau dari sudut pandang kelayakan pelaku tindak tutur, Fraser (1974) mengemukakan dua jenis tindak tutur : (1) vernakuler, yaitu tindak tutur yang dapat dilakukan oleh setiap anggota masyarakat, dan (2) seremonial, yaitu tindak tutur yang dilakukan oleh orang yang berkelayakan untuk hal yang dituturkannya.
cantik”,
Berapa saudaramu, Mad?2. Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal
speech act) adalah tindak tutur yangdiungkapkan dengan modus kalimat yang tidak
sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapimakna kata-kata yang menyusunnya
sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh penutur.Misalnya : “Lantainya kotor”.
Kalimat itu jika diucapkan seorang ayah kepada anaknya bukansaja
menginformasikan, tetapi sekaligus menyuruh untuk membersihkannya.3. Tindak
tutur langsung tidak literal (direct non literal speech) adalah tindak tutur
yangdiutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud dan tuturan,
tetapi kata-kata yangmenyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud
penuturnya. Misalnya :“Sepedamu bagus, kok”. Penuturnya sebenarnya ingin
mengatakan bahwa sepeda lawan tuturnya jelek.4. Tindak tutur tidak
langsung tidak literal (indirect non literal speech act) adalah tindak
tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud
yang ingin diutarakan.Untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai kotor,
seorang majikan dapat sajamengutarakannya dengan kalimat “Lantainya bersih
sekali, Mbok”.C. Daftar PustakaGunarwan, Asim. 1994. “Kesantunan Negatif di
Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa diJakarta” dalam PELBA 7. Jakarta: Unika
Atmajaya Press.Leech, Geoffrey.1983. Principles of Pragmatics. London:
LongmanRohmadi, Muhammad. 2004. Prakmatik Teori dan Analisis. Yogyakarta:
Lingkar MediaWijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi
Offset
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Sebagai kata akhir dari paparan ini,
penulis menyimpulkan bahwa dalam pragmatik umum senntiasa mengupas hal-hal yang
bersifat lokal dan situasional serta dapat diatur dalam sosiopragmatik (sociopragmatics)
dan pragmalinguistik (pragmalinguistics), karena memang kedua bidang ini
merupakan cabang dari pragmatik umum yang memiliki hubungan yang sinergi. Sosio-pragmatik memiliki kesamaan
dengan istilah ketepatan isi (appropriateness in meaning), yaitu sejauh
mana fungsi komunikasi tertentu, sikap dan gagasan dianggap tepat sesuai dengan
situasi yang berlaku. Hal ini berhubungan erat dengan aspek sosiologi. Bahkan,
dalam berkomunikasi seorang penutur dituntuk untuk menguasai kajian lintas
budaya (cross culture), hal ini dilakukan dalam rangka membangun
prinsip-prinsip kerjasama dan sopan santun dalam proses komunikasi, sehingga
tujuan komunikasi dapat dicapai secara efektif dan menghindari kesalahfahaman
anatar penutur dan lawan tutur.þ
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,
Rofik. 2002. “Analisis Penggunaan Implikatur Percakapan Antara Resepsionis
dan Tamu Check in di Guest House Paradiso Surakarta”. Skripsi. Surakarta : Universitas Sebelas Maret
Brown, Gillian dan Yule, George. 1996. Analisis Wacana. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Hidayah , Chotamul. 2006. “ Implikatur Percakapan dalam Pembelajaran di SD Plus
Al Firdaus Surakarta (Kajian Pragmatik)”.Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
dan Tamu Check in di Guest House Paradiso Surakarta”. Skripsi. Surakarta : Universitas Sebelas Maret
Brown, Gillian dan Yule, George. 1996. Analisis Wacana. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Hidayah , Chotamul. 2006. “ Implikatur Percakapan dalam Pembelajaran di SD Plus
Al Firdaus Surakarta (Kajian Pragmatik)”.Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Austin,
J.L. 1965 How to do Things with Word. Oxfort: Oxford Univercity Press.
Bambang
Kaswanti Purwo. 1984. Deiksis
dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
Sudaryanto.
1992. Metode Linguistik; Ke Arah Memahami Metode Linguistik.
Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
_________ . 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.as Maret.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi Ofset.
(http://lisadypragmatik.blogspot.com/2011/06/pragmatik-oleh-sidon.html).
(http://tulisanmakyun.blogspot.com/2011/06/linguistik pragmatik.html)
Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
_________ . 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.as Maret.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi Ofset.
(http://lisadypragmatik.blogspot.com/2011/06/pragmatik-oleh-sidon.html).
(http://tulisanmakyun.blogspot.com/2011/06/linguistik pragmatik.html)
Langganan:
Postingan (Atom)